Dalam tradisi fiqih Syafi’i, kewajiban orang tua menafkahi anak terhenti seketika anak menjadi dewasa, sehingga orang tua tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah tanpa seizin anaknya yang sudah dewasa, karena zakat fitrah turunan dari kewajiban nafkah. Dewasa yang dimaksud di sini adalah padanan kata dari baligh dalam terminologi fiqih.
Baligh artinya akal mampu mengontrol raga dan syahwat, atau dengan ungkapan lain nafsu natiqoh mampu mengendalikan nafsu hayawaniah. Balig berarti mampu mengenali diri, memiliki identitas definitif, bertanggung jawab, sanggup menunaikan kewajiban syariat, mandiri, dan sebagainya.
Dewasa atau baligh dalam kitab fiqih Syafi’i paling dasar seperti Safinah ditandai dengan satu dari tiga tanda; Pertama, haidh pada usia minimal 9 tahun. Kedua, keluar mani pada usia paling sedikit 9 tahun. Ketiga, telah berusia 15 tahun, apabila tidak didahului keluar mani atau haid.
15 tahun adalah usia paling lambat seseorang menjadi dewasa, sedangkan 9 tahun adalah usia paling cepat menjadi dewasa.
Di dalam fiqih, balig menjadi fase ketiga atau terakhir dalam perkembangan jiwa-akali manusia setelah melewati 2 fase sebelumnya, yakni; fase anak belum mumayyiz (shobiy ghoir mumayyiz), dan anak mumayyiz. Pada fase ketiga atau fase baligh tidak lagi ada panggilan shobiy atau anak.
Konsep fiqih yang berbasis wahyu ini dikuatkan dengan beberapa fakta sejarah, sebagai contoh: Sayyidina Ali, sayyidina Abdullah bin Umar rodliyallohu ‘anhuma diizinkan Rosul berperang pada usia 15 tahun. Sahabat Usamah bin Zaid diangkat menjadi panglima perang pada usia 18 tahun. Para peserta kongres Pemuda 1928 yang berhasil menggulirkan Sumpah Pemuda didominasi usia 14-15 tahun. KH Zarkasyi saat mendirikan Gontor bersama kedua saudaranya pada saat itu berusia 16 tahun. Muhammad al-Fatih memimpin pasukan besar saat menaklukkan Konstantinopel pada usia 19-20 tahun. Dan masih banyak lagi.
Artinya usia-usia balig (9-15 tahun) adalah usia dimana seseorang berkesempatan matang secara jiwa-akali, apabila ditangani secara benar sesuai fase perkembangan manusia dalam Islam.
Sebaliknya, jika mereka ditangani dan diperlakukan salah, tidak menuturi panduan wahyu, mereka akan tetap menjadi anak-anak di usia yang harusnya sudah dewasa.
Sekolah pun menjadi semacam institusi melanggengkan kekanak-kanakan secara masif, alih-alih menyiapkan kedewasaan. Kita temukan di banyak tempat, mereka yang secara usia telah 15 tahun atau setara dengan lulusan SMP, namun secara pikiran, kejiwaan, dan perangai jauh dari kata dewasa.
Jangankan setara lulusan SMP, yang setara lulusan SMA atau kisaran usia 18 tahun pun tidak jauh beda. Masih bingung dengan dirinya, tidak tahu perannya dalam masyarakat, tidak memiliki mandiri. Padahal seperti disebutkan di awal, balig adalah masa terputusnya kewajiban nafkah, dengan asumsi mereka telah matang dan mandiri pada saat itu.
Yang terjadi justru sebaliknya, di usia-usia itu malah rentan munculnya berbagai “kenakalan remaja”, meski yang sebenarnya adalah kejahatan manusia. Membunuh, seks bebas, hamil di luar nikah, tawuran dengan senjata tajam, begal, geng motor bukanlah kenakalan, tapi kejahatan.
Lantas dimana letak kekeliruannya? Apakah terletak pada kitab fiqih, ataukah pada cara kita melihat dan memperlakukan mereka? Bersambung. Wallahu a’lam
A Deni Muharamdani, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBMNU) Karangpawitan Garut