Strategi dan Transformasi Digital dalam Meningkatkan Efektivitas Gerakan Indonesia Berwakaf

Berbagai kajian tentang Gerakan Sosial, misalnya yang dilakukan oleh Stolley (2005) menyebutkan bahwa efektivitas sebuah gerakan sosial, selain harus ada “isu” atau “ide”, gagasan yang akan diperjuangkan, sebuah gerakan harus didukung jaringan komunikasi untuk penyebaran ide-ide gerakan; Harus ada pemimpin (leader) sebagai “penggerak”, dan harus ada upaya untuk mengorganisasi kelompok-kelompok yang tertarik (interested groups) ke dalam suatu gerakan.

Ide atau gagasan yang mendasari “Gerakan Indonesia Berwakaf adalah fakta tak terbantahkan bahwa aset dan potensi wakaf sangat besar, jumlah aset wakaf tidak bergerak berupa tanah angkanya terus bertambah, dalam catatan BWI (Tahun 2023) pertumbuhannya mencapai 8 persen per tahun, potensi wakaf tunai (wakaf) uang juga mencapai 180 triliun. Proyeksi optimistik tersebut memiliki dasar  antara lain publikasi Global Charities Aid Foundation tahun 2023 yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara paling dermawan di dunia, yakni menempati peringkat pertama berdasarkan World Giving Index 2023.

Oleh karena itu, seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa “Gerakan Indonesia Berwakaf” adalah “teriakan massif” melalui “gerakan kolektif” untuk membangunkan “raksasa tidur” yang bernama potensi wakaf. Dalam konteks tersebut, Gerakan Indonesia Berwakaf harus mengamplifikasi berbagai literasi terkait wakaf, potensi dan manfaat wakaf, berbagai “best practice” dan success story pengelolaan perwakafan, varian pilihan produk investasi wakaf kontemporer, serta gagasan dan rencana pengembangan “high impact project” wakaf.

Resonansi ide dan informasi tentang “Gerakan Indonesia Berwakaf” akan massif dan efektif jika didukung dengan piranti teknologi terkini dan memanfaatkan berbagai kanal dan media informasi yang diminati oleh masyarakat global. Dalam konteks tersebut, transformasi digital dan pengintegrasian ekosistem perwakafan nasional adalah sebuah keniscayaan.

Ekosistem wakaf nasional saat ini terdiri berbagai elemen komunitas masyarakat dan kelembagaan, privat maupun publik, mulai Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PUPR, Bank Indonesia, KNEKS, BUMN, Ormas Keagamaan, LSM, Lembaga Pendidikan, Pondok Pesantren, Perbankan, dunia usaha, investor, komunitas Nazhir, emak-emak, generasi millenial  dan lain-lain.

Ada komponen ekosistem yang sedang “on fire” mencari tahu dan memperbincangkan wakaf, namun tidak sedikit yang belum atau tidak peduli bahkan mungkin “curiga” dan underestimate kepada wakaf dan gerakan wakaf. Adalah tugas BWI untuk memetakan kondisi dan mengorkestrasi seluruh komponen ekosistem wakaf tersebut.

BWI harus mampu berkolaborasi dan meyakinkan beberapa “otoritas kunci” dari unsur pemerintahan dalam pengarusutamaan wakaf dan peran strategis wakaf dalam pembangunan, seperti Kemenko Perekonomian, Kemenko PMK,  Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, termasuk DPR, Bank Indonesia (BI), KNEKS, OJK, dan tentu saja Kementerian Agama.

Pada saat yang saya, BWI harus mampu membangun kepercayaan (trust) dari masyarakat dan stakeholders kunci perwakafan, seperti nazhir, LKSPWU, dan Dunia Usaha. Berbagai sentimen negatif, persepsi publik, sengketa dan kasus yang berpotensi menggangu “reputasi perwakafan” harus segera diklarifikasi dan diselesaikan. Tentu saja tidak mudah. Oleh karena itu BWI harus terus meningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaannya.

KH Tatang Astarudin, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia dan Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Contact Me