Kesaksian atas kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW tidak hanya datang dari klaim wahyu dari Allah, Al-Qur’an, maupun hadits yang berasal dari lisan mulia sang nabi, melainkan seluruh aspek semesta, mulai dari hewan, tumbuhan, bahkan benda mati sekalipun turut bersaksi atas kenabian Rasulullah SAW.
Sering kita dengar kisah interaksi Nabi dengan hewan atau benda-benda mati yang turut bersaksi atas mukjizat beliau. Salah satunya adalah kisah kesaksian dhab, sejenis kadal gurun, atas diri Nabi. Kisah ini dimuat dalam kitab Dalailun Nubuwwah wa Ma’rifati Ahwali Shabibisy Syari’ah karya Imam Baihaqi (Beirut: Dar Kutub Ilmiyyah, 2007, jilid VI, hal. 36-38).
Dikisahkan, saat itu Rasulullah SAW tengah membuka majlis bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datang seorang A’rabi dari Bani Sulaim. Rupanya, ia baru saja berburu hewan dhab untuk dimasak.
Perlu diketahui, orang Arab Badui memang suka berburu, termasuk berburu hewan dhab (kadal gurun). Dhab ini mereka dapatkan di gurun-gurun, sering kali untuk kemudian dikonsumsi. Dhab ini ditegaskan kehalalannya oleh Nabi, sementara biawak, seperti yang dikenal di Indonesia, haram untuk dimakan.
Melihat ada sekelompok orang berkumpul, ia penasaran dan bertanya pada salah satu sahabat. Sahabat ini menjawab bahwa orang-orang ini sedang berkumpul mendengarkan Rasulullah. Selesai mendengar penuturan sahabat tersebut, A’rabi ini menerobos ke depan dan langsung memaki-maki Nabi di hadapan para sahabat.
“Demi Latta dan Uzza, tidaklah wanita mengandung orang yang bisa berbicara yang lebih aku benci daripada dirimu. Andaikan bukan karena kaumku menyebutku dengan ‘ajul (yang tergesa-gesa), pasti aku segera membunuhmu.”
Mendengar ucapan orang ini, Sahabat Umar naik pitam dan meminta izin kepada Nabi untuk membunuhnya. Nabi mencegahnya sambil berkata, “Wahai Umar, tidakkah kau tahu, bahwa orang yang halim (lembut, tidak terburu-buru menghakimi) hampir-hampir menjadi nabi?” Maksudnya, seorang nabi tak mungkin berlaku demikian.
Nabi kemudian menanyakan motif dirinya berani berbuat demikian. “Apakah perkataanku salah? Kau juga tidak memuliakan majelisku.”
Si Badui ini berujar, “Engkau bicara kepadaku juga?,” dengan nada meremehkan dan menantang Nabi.
“Demi Latta dan Uzza, aku tidak akan beriman kepadamu hingga dhab ini bersaksi atas kebenaranmu.” sambil melemparkan hewan tersebut di depan Nabi.
Sejurus kemudian, Nabi bertanya kepada dhab tersebut, “Siapakah yang kau sembah? Siapakah diriku?” Hewan dhab ini kemudian menjawab pertanyaan Nabi dengan bahasa Arab yang fasih sehingga para sahabat bisa mendengarkan suaranya.
“Tuhanku adalah dzat yang arsy-Nya di langit, kerajaan-Nya di bumi, jalannya ada di laut. Rahmat-Nya ada di surga dan siksa-Nya ada di neraka. Engkau adalah Rasulullah, penutup para utusan. Beruntunglah orang yang mengimanimu, sementara yang mendustakanmu adalah orang yang merugi.”
Mendengar persaksiannya, si Badui tadi seketika pasrah dan bersyahadat di hadapan Nabi. Sekarang, baginya tidak ada yang lebih dicintai di muka bumi ini daripada Rasulullah SAW.
Setelah bersyahadat, Badui ini meminta diajarkan sesuatu oleh Nabi. Nabi kemudian membacakan Surah al-Ikhlas. Si Badui ini tidak puas hanya diajari satu surah pendek, ia meminta lebih dari itu.
Nabi menjelaskan bahwa itu bukan syair sebagaimana yang ia pahami. Surah ini apabila dibaca sekali, maka seperti membaca sepertiga Al-Qur’an. Apabila dua kali dibaca maka seperti dua pertiga Al-Qur’an. Kemudian apabila dibaca sebanyak tiga kali maka pahalanya seperti membaca Al-Qur’an sepenuhnya. A’rabi ini tampak begitu bahagia dan berkata:
قال : يا أعرابي ! إن هذا كلام الله ليس بشعر ، إنك إن قرأت ( قل هو الله أحد ) مرة كان لك كأجر من قرأ ثلث القرآن ، وإن قرأت مرتين كان لك كأجر من قرأ ثلثي القرآن ، وإذا قرأتها ثلاث مرات كان لك كأجر من قرأ القرآن كله ، قال الأعرابي : نعم الإله إلها يقبل اليسير ويعطي الجزيل
Artinya, “Sebaik-baiknya Tuhan ialah Tuhan yang menerima amalan sedikit (kecil) namun memberikan balasan yang luar biasa besar.” (Imam Baihaqi, Dalailun Nubuwwah wa Ma’rifati Ahwali Shabibisy Syari’ah, jilid VI, hal. 37).
Rasulullah kembali bertanya, ”Apakah kamu punya harta?” Si Badui ini terus terang mengatakan bahwa tidak ada laki-laki dari kabilahnya yang lebih miskin daripada dirinya.
Mendengarnya, Nabi langsung meminta sahabat mengumpulkan sebagian harta mereka untuk diberikan kepadanya. Termasuk yang paling loyal saat itu, sahabat Abdurrahman bin Auf. Ia memberikan unta kesayangannya kepada si Badui ini.
Singkat cerita, si Badui ini beranjak pergi dan mendapati banyak orang dari kabilahnya telah siap dengan peralatan lengkap seperti akan berperang. Ternyata orang-orang ini bermaksud ingin membunuh Nabi, sebab menurut mereka, Nabi Muhammad telah memperolok sesuatu yang mereka sembah.
Dengan sigap, si Badui tadi bersyahadat dan menceritakan pengalaman luar biasanya bersama Nabi di depan mereka semua. Mendengar penuturan temannya, orang-orang Badui ini bersama-sama melafalkan syahadat dan masuk Islam. Kejadian ini disampaikan kepada baginda Nabi.
Rasulullah lantas keluar dan menyambut kedatangan mereka. Orang-orang dari Bani Sulaim ini menghadap Rasulullah dan mengucapkan syahadat dengan seksama. Setelah itu mereka berkata, “Berikan kami perintah, Ya Rasul!”
“Hendaknya kalian berada di bawah komando Khalid bin Walid,” kata Rasulullah.
Sebagai catatan, kelompok Arab Badui memang termasuk kabilah yang hidup jauh dari peradaban. Mereka suka berburu, berpindah-pindah tempat tinggal, dan suka berperang. Sangat masuk akal apabila karakternya cenderung bebas dan kurang terpelajar.
Tercatat dalam beberapa kasus, kelompok Badui ini baru akan taslim (menerima) bukti kebenaran Islam jika Nabi mampu menunjukkan mukjizatnya yang bersifat indrawi, seperti kisah pohon yang bersujud di hadapan Nabi. Kisah ini juga berawal dari tantangan orang Badui.
Dalam kitab al-Mufashal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam karya Jawwad Ali, yang diterjemahkan oleh Khalifurrahman Fath, disebutkan bahwa orang Arab perkotaan sering kali merasa jengkel dan marah jika dipanggil “Wahai A’rabi” (orang Arab Badui). Sebab, menurut mereka, Arab Badui adalah kelompok yang terbelakang, baik dari aspek pemikiran, peradaban, maupun status sosial.
Dengan demikian, model mukjizat seperti ini lebih sesuai dengan tipologi mereka daripada logika-logika ketuhanan atau konsep risalah kenabian seperti apa yang disampaikan Al-Qur’an. Sebab mereka tak perlu menalar dan berpikir secara mendalam.
Dari kisah tersebut, dapat dipahami bahwa Nabi sangat memahami karakter psikologis Badui ini. Dengan sikap yang sembrono, Nabi justru merespons dengan sikap welas asih. Begitu pun, sahabat Umar yang hampir membunuhnya dicegah oleh Nabi, sebab Nabi paham kalau itu sampai terjadi, maka akan menimbulkan konflik yang lebih besar.
Nabi dengan lemah lembut berdialog dengan Badui ini hingga mampu merebut hatinya. Jika saja dalam kisah tersebut, Nabi bertindak tegas atau bahkan sahabat Umar benar-benar membunuhnya, bisa jadi akan terjadi pertumpahan darah yang luar biasa dan itu semua sia-sia. Nabi mengajarkan umat bagaimana menjadi pribadi yang santun dan sopan, serta penyayang.
Kisah yang penulis paparkan di atas dapat ditemukan juga dalam beberapa kitab, seperti dalam kitab Jam’ul Jawami’ pada bagian Musnad Umar bin Khattab karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi, (Mesir: Al-Azhar Syarif, 2005, jilid XV, halaman 16-19).
Selain itu, kisah di atas juga dapat ditemukan dengan redaksi yang sangat panjang dalam riwayat ath-Thabrani dalam Mu’jamul Awsath. (Mesir: Darul Haramain, 1995 H, jilid VI, halaman 126).
Demikianlah kisah luar biasa tentang keistimewaan Nabi. Tercatat tidak ada kelompok dari kalangan Arab ataupun selainnya yang masuk Islam dengan jumlah yang banyak, selain dari kelompok Arab Badui dari Bani Sulaim. Wallahu A’lam.
Ustadz Abdillah Amiril Adawy, Mahasantri Mahad Aly Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta