Bagaimana mungkin seorang Rasul yang tidak bisa membaca justru diberi perintah pertama: “Iqra!”? Dan bagaimana bisa Musa yang cadel malah diperintahkan untuk mendatangi Fir’aun penguasa paling angkuh di zamannya, untuk berdakwah secara langsung, face to face?
Bukankah lebih mudah bagi Allah menunjuk seorang Rasul yang mahir membaca, agar perintah Iqra bisa segera dijalankan tanpa kendala? Atau mengapa tidak memilih saja dari kalangan Bani Israil, tokoh-tokoh fasih, berpengaruh, dan piawai berbicara dengan retorika tajam dan memikat?
Tentu amat mudah bagi Allah untuk melakukannya. Namun justru di situlah letak rahasianya.
Allah tidak sedang mencari manusia paling pandai, paling fasih, atau paling berkuasa. Allah sedang menunjukkan kepada kita bagaimana cinta-Nya bekerja dengan cara yang sering kali tak dapat dipahami oleh logika manusia. Inilah paradoks cinta.
Mencintai kelebihan seseorang itu mudah. Anda jatuh cinta pada tulisannya, pada wajahnya yang menawan, kefasihannya berbicara, atau pada deretan gelar akademik yang menghias namanya. Semua orang bisa dengan mudah jatuh cinta kepada sosok seperti itu. Tapi, maukah Anda mencintai kelemahannya?
Di sinilah paradoks cinta mulai menyapa. Ketika amanat dan anugerah Allah justru tidak diberikan kepada mereka yang secara lahir tampak paling layak, bukan kepada raja, bukan kepada yang bergelimang harta, bukan kepada pemilik kekuasaan atau popularitas. Tapi kepada Muhammad yang ummi, dan Musa yang cadel. Maukah Anda mencintai mereka, dan mengikuti risalah yang mereka bawa, tanpa bergantung pada pesona duniawi?
Inilah rahasia para Nabi. Mereka tidak dipilih karena paling sempurna menurut ukuran manusia, tetapi karena mereka paling tunduk total. Allah memilih mereka yang paling siap menyerahkan dirinya seutuhnya. Mereka yang mampu berkata ‘sami’na wa atha’na’ bahkan saat merasa tidak pantas.
Nabi Muhammad, yang tidak bisa membaca, justru menjadi pemikul wahyu yang pertama perintahnya adalah “Iqra.” Mengapa? Karena ilmu sejati bukan semata hasil dari kecakapan intelektual, tetapi cahaya yang Allah tanamkan di dada yang bersih. Iqra bukan sekadar membaca teks, tapi membaca semesta—membaca tanda-tanda cinta dari Sang Pencipta. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh hati yang jernih, bukan oleh otak yang penuh kesombongan akademik.
Demikian pula Nabi Musa. Ia cadel. Ia tidak pandai bicara. Tapi ketika ia menyampaikan pesan, langit mendengarkan. Karena ia membawa kebenaran. Ia menghadapi Fir’aun bukan dengan kefasihan, melainkan dengan keberanian, cinta pada kaumnya, dan keyakinan penuh kepada Allah.
Bukankah itu pelajaran besar bagi kita semua? Bahwa kekuatan dakwah tidak terletak pada kefasihan, tetapi pada kejujuran dan keteguhan dalam menghadapi kebatilan.
Paradoks cinta mengajarkan kita bahwa cinta sejati tidak lahir dari kekaguman terhadap kelebihan, tetapi dari penerimaan atas kelemahan. Cinta sejati adalah ketika kita tahu seseorang punya kekurangan, namun tetap memilih untuk berjalan bersamanya. Kita tahu mereka tidak sempurna—dan justru di situlah letak keindahannya.
Sebab, andai para Nabi adalah manusia-manusia super tanpa cela, terlalu sempurna untuk diteladani, kita akan berkata, “Wajar saja mereka taat, mereka istimewa. Kami tak mungkin bisa.” Tapi ketika mereka adalah manusia seperti kita—yang pernah takut, pernah gelisah, tak pandai, bahkan tertatih—dan mereka tetap teguh mengemban amanah, maka kita pun tak punya alasan lagi untuk menyerah.
Inilah seni Allah dalam memilih. Di balik kelemahan lahiriah, tersembunyi kekuatan ruhaniah. Di balik keterbatasan mereka, ada ketulusan yang tak tergantikan. Dan di situlah letak kemuliaan para Nabi—bukan pada kelebihan lahiriah, tetapi pada kerelaan mereka memanggul beban yang bahkan gunung pun enggan memikulnya.
Maka tanyakanlah pada dirimu: Maukah kau mencintai dengan cara Allah mencintai?
Dan menjelang akhir Ramadan ini, ketika kita tak bisa lagi bersandar pada kesempurnaan ibadah kita, ketika kita merasa tak layak dan tak pantas, kita hanya bisa menunduk total kepada takdir dan pelukan kasih sayang ilahi.
Inilah kami—para hamba-Mu yang dha‘īf dan tak berdaya
Terimalah puasa kami di bulan Ramadan ini, ya Rabb.
Irham dha‘fanā
Sayangilah kelemahan kami
KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia