Selama ini di tengah masyarakat, istri kerap menjadi sasaran tudingan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemborosan anggaran rumah tangga. Pandangan ini muncul karena dalam banyak rumah tangga, istri sering kali berperan dominan sebagai pengatur keuangan atau bendahara, sementara suami lebih dikenal sebagai pencari nafkah.
Tudingan ini tidak hanya mencerminkan stereotip yang sudah mengakar, tetapi juga sering kali mengabaikan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi istri dalam mengelola keuangan keluarga. Ketika suami menuduh uangnya mudah habis karena istri tidak mengelolanya dengan bijak, biasanya bibit-bibit perpecahan akan lahir.
Tidak jarang konflik ini berakhir dengan saling melempar tuduhan. Istri menuduh suami sebagai pribadi yang pelit, sedangkan suami menuduh istri memiliki sifat boros dalam berbelanja. Sebagai tindakan preventif, penting bagi setiap pasangan mengedepankan komunikasi dengan pikiran yang sehat terkait pengelolaan finansial rumah tangga.
Dampak Negatif Sifat Boros
Di luar kasus-kasus yang terjadi terkait pasangan yang boros dalam pengeluaran rumah tangga, ketidakmampuan untuk mengatasi masalah keuangan dapat menjadi faktor terjadinya perceraian.
Ketika masalah keuangan menjadi penyebab utama ketidakstabilan rumah tangga, saat itu juga pasangan suami-istri sedang berada dalam ujian. Banyak yang mampu melewati kondisi krisis tersebut, namun tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian.
Oleh sebab itu, Islam menekankan prinsip pengelolaan harta dengan bijaksana. Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw ini mengajarkan umatnya untuk menghindari sifat boros dalam segala aspek kehidupan. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا، إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya, “Dan janganlah kamu menghambur-menghamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra’, [17]: 26-27).
Ayat di atas dengan jelas melarang siapa pun, termasuk suami-istri dalam mengelola keuangan rumah tangga, untuk tidak berbuat boros. Allah bahkan menyamakan orang-orang yang boros dengan saudara-saudara setan. Tamsil tersebut menegaskan bahwa pemborosan adalah tindakan yang sangat dilarang dalam Islam.
Standar Boros dalam Islam
Dalam pandangan Islam, untuk meninjau perilaku boros atau tabdzir dalam konteks pembelanjaan uang di sebuah rumah tangga yang dilakukan, baik oleh istri maupun suami, perlu merujuk kepada definisi boros yang telah ditetapkan oleh para ulama. Para ulama memiliki ragam definisi terkait sifat boros.
Menurut Imam Abu Said Abdullah bin Umar al-Baidhawi (wafat 685 H), standar boros dalam menggunakan harta adalah ketika digunakan untuk sesuatu yang tidak seharusnya digunakan, atau membelanjakannya dengan cara berlebihan. Penjelasan ini dipaparkan ketika al-Baidhawi melakukan interpretasi terhadap ayat 26 surat Al-Isra’:
وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا: بِصَرْفِ الْمَالِ فِيْمَا لاَ يَنْبَغِي وَإِنْفَاقِهِ عَلىَ وَجْهِ الْإِسْرَافِ
Artinya, “Dan janganlah kamu menghambur-menghamburkan (hartamu) secara boros: yaitu dengan menggunakan harta pada hal-hal yang tidak semestinya, dan membelanjakannya dengan cara yang berlebihan.” (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, cetakan pertama, 1418 H], halaman 441).
Berbeda dengan pendapat di atas, Imam Abu Muhammad al-Baghawi (wafat 516 H) dalam kitabnya menjelaskan, boros dalam penggunaan harta adalah apabila harta digunakan untuk kemaksiatan. (Tafsir Ma’alimut Tanzil, [Mesir: Darut Thaybah, cetakan keempat: 1997], jilid V, halaman 89).
Termasuk dari tindakan pemborosan dan berlebih-lebihan adalah dengan mengonsumsi semua makanan yang diinginkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya, yaitu:
إِنَّ مِنَ السَّرَفِ أَنْ تَأْكُلَ كُلَّ مَا اشْتَهَيْتَ
Artinya, “Termasuk dari pemborosan adalah engkau memakan semua (makanan) yang kamu sukai.” (HR Ibnu Majah).
Dari beberapa penjelasan di atas, tentu bisa ditarik kesimpulan bahwa boros dalam konteks membelanjakan harta bagi pasangan adalah ketika menggunakan hartanya dengan berlebih-lebihan, menggunakan harta untuk kemaksiatan, atau membeli setiap sesuatu yang diinginkan.
Tips Menghindari Pemborosan Harta Menurut Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili
Menurut Syekh Dr. Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, cara agar tidak terjadi pemborosan harta adalah dengan membelanjakannya sesuai kebutuhan saja, tanpa berlebihan, dan tentunya tidak menyalurkannya pada kemaksiatan. Ia menjelaskan:
لَا تُنْفِقِ الْمَالَ إِلاَّ بِاعْتِدَالٍ وَفِي غَيْرِ مَعْصِيَةٍ وَلِلْمُسْتَحِقِّيْنَ، بِالْوَسْطِ الَّذِي لاَ إِسْرَافَ فِيْهِ وَلاَ تَبْذِيْرَ. وَالتَّبْذِيْرُ لُغَةً: إِفْسَادُ الْمَالِ وَإِنْفَاقُهُ فِي السَّرَفِ
Artinya, “Janganlah menghabiskan harta kecuali dengan cara yang moderat [tidak berlebihan] dan tidak menyalurkannya pada kemaksiatan. Berikanlah kepada yang berhak, dengan cara yang tidak mengandung pemborosan atau penghamburan. Pemborosan secara bahasa artinya ‘merusak harta dan menghabiskannya secara berlebihan’.” (Tafsir al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, [Damaskus: Darul Fikr al-Mu’ashir, t.t.], jilid XV, halaman 58).
Adapun secara praktik, penjabaran tips di atas dapat direalisasikan di masa sekarang dengan beragam cara. Misalnya dengan menyusun anggaran bulanan rumah tangga, belanja sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkannya sebelum membeli, menghindari gaya hidup hedonis, membatasi pengeluaran hiburan yang tidak perlu, hingga kontrol pengeluaran kecil yang terlihat sepele.
Dengan demikian, pengelolaan uang dengan bijak dan benar yang dilakukan pasangan suami-istri merupakan kunci penting untuk menjaga kestabilan rumah tangga dan mencegah masalah finansial yang muncul dari pemborosan harta.
Selain itu, perlu menjadi catatan bahwa istri boleh menggunakan harta sesuai keinginannya sepanjang tidak berlebih-lebihan, dan aktivitas perbelanjaan yang dilakukan menggunakan harta yang dihasilkan sendiri dengan semisal bekerja, atau harta yang diberikan oleh suami kepadanya.
Sedangkan harta suami yang belum diberikan kepada istri, maka tidak boleh digunakan. Ketidakbolehan berlaku jika si suami sudah menunaikan tanggung jawab berupa nafkah pada anak dan istrinya.
Penjelasan di atas sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abdul Lathif Abdul Ghani Hamzah dalam kumpulan fatwa-fatwa ulama Mesir, yaitu:
اِذَا كَانَ الرَّجُلُ يُنْفِقُ عَلىَ زَوْجَتِهِ وَوَلَدِهِ مَا يَكْفِيْهِمْ مُؤْن الْحَيَاةِ وَيُغْنِيْهِمْ عَنِ السُّؤَالِ فَلاَ يَحِقُّ لِزَوْجَتِهِ أَنْ تَخُوْنَهُ فِى شَىْءٍ مِنْ مَالِهِ لِأَنَّهَا أَمِيْنَةٌ عَلىَ أَمْوَالِهِ
Artinya, “Jika seorang suami sudah memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya dengan cukup untuk kebutuhan hidup mereka dan membuat mereka tidak perlu meminta-minta, maka tidak sah bagi istrinya untuk mengkhianatinya dalam hal apa pun dari hartanya, karena dia adalah penjaga terhadap harta-hartanya.” (Darul Ifta al-Mishriyah, [Wizaratul Auqaf al-Mishriyah, nomor fatwa: 4937], jilid I, halaman 354).
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa standar belanja pasangan dapat disebut boros adalah ketika ia membelanjakan harta melebihi kebutuhannya, atau menggunakannya untuk kemaksiatan.
Perilaku ini termasuk dalam kategori boros atau tabdzir. Semoga penjelasan ini memberikan pencerahan bagi pembaca, dan membawa kesadaran perihal pentingnya mengelola keuangan dengan bijak tanpa adanya pemborosan. Wallahu a’lam.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.