Imam Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi adalah tokoh sufi terkemuka yang hidup di abad ketiga Hijriyah. Selain Imam Ghazali, ajaran Imam Junaid yang moderat menjadikannya sebagai kiblat bidang ilmu tasawuf bagi Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) An-Nahdliyah.
Di antara ciri Aswaja An-Nahdliyah adalah tawazun atau seimbang, tidak ekstrem kanan atau kiri. Hal ini pula yang disampaikan Imam Junaid ketika bertemu dengan seorang sayyid hingga membuatnya ingin menjadi murid Imam Junaid.
Dikisahkan, ketika seorang sayyid yang bernama Nasir hendak menunaikan ibadah haji, ia singgah di kota Baghdad dan mengunjungi kediaman Imam Junaid Al-Baghdadi.
“Engkau berasal dari mana?”, tanya Imam Junaid setelah menjawab salam.
“Saya datang dari Ghilan,” jawab Sayyid Nasir.
“Engkau keturunan siapa?”, tanya Imam Junaid.
“Saya keturunan Sayyidina Ali karramallahu wajhah,” jawab Sayyid Nasir.
Imam Junaid kemudian menjelaskan bahwa leluhurnya, Sayyidina Ali mempunyai dua bilah pedang. Satu pedang untuk melawan musuh yang ada di luar, yaitu kafir Quraisy. Satu pedang lagi untuk melawan musuh di dalam, yaitu hawa nafsu.
Diketahui, Sayyidina Ali mempunyai Pedang Dzulfikar yang digunakan untuk berperang melawan kafir Quraisy. Suatu hari, saat di medan perang, Sayyidina Ali siap mengeksekusi kafir Quraisy namun hal itu diurungkan karena wajahnya diludahi.
Alasan Sayyidina Ali mengurungkan eksekusi tersebut karena ia khawatir saat melakukannya dilandasi oleh hawa nafsu yang muncul akibat diludahi lawannya, bukan diniati karena Allah yang sejak awal ia tanamkan dalam hati.
Usai mengutarakan kisah pedang Sayyidina Ali, Imam Junaid melontarkan pertanyaan lagi yang cukup menohok dan berhasil membuat Sayyid Nasir menangis saat mendengarnya.
“Sebagai keturunannya, saat ini pedang manakah yang engkau gunakan?”, tanya Imam Junaid yang disambut air mata Sayyid Nasir.
Kata-kata Imam Junaid ini membuat tubuh Sayyid Nasir lemah lunglai. Ia kemudian merebahkan badannya di depan Imam Junaid.
“Wahai Guru, tunjukanlah kepadaku jalan menuju Allah”, ucap Sayyid Nasir memohon pada Imam Junaid.
“Dadamu adalah kawasan mulia ‘tempat bernaung’ Allah. Upayakanlah sekuat kemampuanmu agar tidak ada ‘ruang’ selain untuk Allah”, ujar Imam Junaid.
Itulah kisah Sayyid Nasir yang ingin menjadi murid Imam Junaid sebagaimana diungkap dalam kitab Tadzkiratul Auliya. (Fariduddin At-Thar, Tadzkiratul Auliya, (Damaskus, Darul Maktabi: 2009), halaman 443-444).
Di antara hikmah yang bisa diambil dari kisah perjalanan haji Sayyid Nasir adalah pentingnya mempunyai seorang guru mursyid atau guru spiritual yang akan menuntun dan mengantar murid menuju ridha Allah. Guru mursyid, biasanya mampu melihat jiwa muridnya seperti etalase yang isinya terlihat jelas sehingga bisa memberi arahan yang sesuai.
Selain itu, kisah ini juga mengingatkan manusia untuk tidak membangga-banggakan nasab mulia dari hasutan hawa nafsu. Nasab mulia justru seharusnya mendorong manusia untuk selalu berusaha mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam dirinya sebagaimana perilaku para datuknya. Lengah sedikit dan membiarkan hawa nafsu berkuasa hanya akan menyisakan kerusakan dan penyesalan.
Kisah ini juga mengingatkan pada sebuah hadits Nabi saw tentang jihad akbar, yaitu melawan hawa nafsu. Usai melewati pertempuran di medan perang. Rasulullah saw bersabda:
رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ
Artinya, “Kalian telah pulang dari sebuah peperangan kecil menuju peperangan akbar. Lalu sahabat bertanya, ‘Apakah peperangan akbar (yang lebih besar), itu wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Jihad (memerangi) hawa nafsu’.” (HR Al-Baihaqi).
Cukuplah menjadi pelajaran tentang banyaknya kerusakan di berbagai hal, salah satu penyebabnya adalah tidak bisa mengendalikan hawa nafsu dalam diri. Termasuk dengan membangga-banggakan nasab bagi orang-orang yang dianugerahi bernasab mulia. Wallahu a‘lam.
Ustad Muhammad Aiz Luthfi, Pengajar di Pesantren Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah, Subang, Jawa Barat.