Ketika Nabi Yusuf Meminta Jabatan

Nabi Yusuf as. merupakan seorang nabi yang mempunyai keistimewaan dalam Al-Qur’an. Allah swt, menjadikan surat Yusuf sepenuhnya menceritakan kehidupan putera Nabi Ya’qub as tersebut. Uniknya, cerita Nabi Yusuf as dalam surat ke-12 tersebut berkisar antara mimpi janggal Yusuf ketika kecil dan tafsir mimpinya yang ternyata merupakan ‘ramalan’ nasib ketika dewasa kelak.

Salah satu bagian cerita paling menarik adalah kala Nabi Yusuf as meminta jabatan sebagai penanggungjawab gudang negara ketika ditawari jabatan oleh penguasa Mesir, setelah ia mengetahui kebolehan Nabi dalam menafsirkan mimpi. Allah berkisah:

وَقَالَ الۡمَلِكُ ائۡتُوۡنِىۡ بِهٖۤ اَسۡتَخۡلِصۡهُ لِنَفۡسِىۡ​ۚ​ فَلَمَّا كَلَّمَهٗ قَالَ اِنَّكَ الۡيَوۡمَ لَدَيۡنَا مَكِيۡنٌ اَمِيۡنٌ‏ * قَالَ اجۡعَلۡنِىۡ عَلٰى خَزَآٮِٕنِ الۡاَرۡضِ​ۚ اِنِّىۡ حَفِيۡظٌ عَلِيۡمٌ

Artinya“Raja berkata, ‘Bawalah dia (Nabi Yusuf) kepadaku agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) denganku.’ Ketika dia (raja) telah berbicara kepadanya (Yusuf), dia (raja) berkata, ‘Sesungguhnya (mulai) hari ini engkau menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami lagi sangat dipercaya.’

Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat berpengatahuan.’” (QS Yusuf: 54-55).

Jika diperhatian sekilas, tindakan Nabi Yusuf as terkesan kurang pantas melihat statusnya sebagai utusan Allah yang selayaknya tidak mencintai hal-hal yang bersifat duniawi, termasuk jabatan. Terlebih, Nabi Muhammad saw secara eksplisit melarang umatnya untuk meminta jabatan.

Larangan ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim masing-masing di kitab Shahih mereka:

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Artinya, “Menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Samurah. Ia berkata: ‘Nabi saw bersabda, ‘Wahai ‘Abdurrahman bin Samurah, Jangan meminta jabatan! Sesungguhnya apabila Engkau diberi jabatan karena memintanya, Engkau akan diminta sepenuhnya melaksanakan jabatan tersebut.

Jika Engkau diberi jabatan tanpa meminta, Engkau akan dibantu untuk menjalankannya. Ketika Engkau telah bersumpah atas sesuatu dan kemudian Engkau mengetahui hal lain yang lebih baik daripadanya (sesuatu yang kau bersumpah padanya), maka bayarlah tebusan dari sumpahmu dan kerjakanlah hal yang lebih baik!’.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya membela tindakan Nabi Yusuf berupa meminta jabatan sebagai penanggung jawab dari gudang-gudang negara (yang berupa piramida) dengan menyebutkan kelebihan dirinya sendiri.

Memuji diri sendiri dengan menyebutkan kelebihan diperbolehkan, jika kehebatan seseorang yang melakukannya belum diketahui banyak orang dan ditujukan untuk kepentingan yang mendesak.

Nabi Yusuf as menyebutkan dua kelebihan dirinya, hafizh dan ‘alim. Menurut Ibnu Katsir, hafizh di sini berarti penjaga yang dapat dipercaya. Menurut Syaibah bin Ni’amah, maksudnya adalah Nabi Yusuf as adalah orang yang berhasil menjaga bahan pangan Mesir dengan sangat baik ketika masa paceklik datang.

Sementara ‘alim maksudnya adalah orang yang punya pengetahuan tentang metode terbaik dalam menyimpan bahan makanan dari masa panen hingga masa paceklik datang. Hal ini menyebabkan Mesir tak kekurangan makanan saat negeri-negeri lain mengalaminya.

Lebih jauh lagi, menurut Ibnu Abi Hatim, sah-sah saja Nabi Yusuf asmeminta jabatan, karena ia tahu bahwa dirinya mampu menjalankan jabatan tersebut. Dalam jabatan tersebut juga, terdapat kemaslahatan bagi orang banyak. Nabi Yusuf as yakin ia akan mengelola harta negara dengan jalan paling hati-hati, sesuai prosedur, dan mendatangkan kemaslahatan. (Tafsir Ibnu Katsir, [Beirut, Darul Fikr: 1994], jilid II, halaman 586).

Imam Al-Alusi bersepakat dengan Ibnu Katsir masalah kebolehan memuji diri sendiri ketika kehebatannya tak diketahui.

وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ مَدْحِ الْإِنْسَانِ نَفْسِهِ بِالْحَقِّ إِذَا جَهُلَ أَمْرُهُ ، وَجَوَازُ طَلَبِ الْوِلَايَةِ إِذَا كَانَ الطَّالِبُ مِمَّنْ يَقْدِرُ عَلَى إِقَامَةِ الْعَدْلِ وَإِجْرَاءِ أَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ يَدِ الْجَائِرِ أَوْ الْكَافِرِ ، وَرُبَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ الطَّلَبُ إِذَا تَوَقَّفَ عَلَى وِلَايَتِهِ إِقَامَةُ وَاجِبٍ مَثَلًا وَكَانَ مُتَعَيِّنًا لِذَلِكَ

Artinya, “Di dalam nash ayat ada dalil yang menunjukkan kebolehan bagi orang memuji diri sendiri dengan sesuatu yang hak, ketika dirinya tak dikenali (kelebihannya). Adapun kebolehan meminta jabatan (muncul) ketika orang yang meminta termasuk orang mampu dalam menegakkan keadilan dan menjalankan hukum-hukum syari’at. (Kebolehan meminta jabatan dari penguasa tetap berlaku) walaupun (si penguasa adalah pihak) yang zalim ataupun kafir. Dan bisa jadi wajib (bagi si peminta jabatan) meminta (jabatan) jika suatu kewajiban bergantung pada jabatannya tersebut dan hanya ia yang bisa melakukannya.” (Ruh al-Ma’ani, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah:1415], jilid VII, halaman 7).

Dalam tafsirnya termasyhur, Imam Al-Qurthubi sependapat dengan Imam al-Alusi dan Imam Ibnu Katsir bahwa meminta jabatan boleh dalam konteks Nabi Yusuf. Hal ini didasari pada keyakinan Nabi Yusuf as bahwa dirinyalah satu-satunya orang yang akan berlaku adil, jujur, dan objektif dalam menyalurkan harta negara pada mereka yang memang benar membutuhkan. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Kairo, Darul Kutub Al-Misriyah: 1384 H], jilid IX, halaman 216).

Kaitannya dengan hadis larangan meminta jabatan di atas, Imam Al-Alusi dan Ibnul Jauzi sepakat bahwa larangan pada hadis tersebut tidak bersifat mutlak. Konteks cerita Nabi Yusuf tidak cocok jika dihukumi dengan hadis tentang larangan meminta jabatan. (Al-Alusi, VII/7; dan Ibnul Jauzi, Kaysful Musykil min Haditsis Shahihain, [Riyadh, Darun Nasyr: 1418 H], halaman 313). Wallahu a’lam.

Ustadz Rifqi Iman Salafi, Alumnus Sastra Inggris UIN Jakarta, Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes, dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat.

Contact Me