Ijazah Syekh Muhammad bin ‘Ali al-Thabari al-Makki untuk Sultan Banten Muhammad Arif Zainul Asyiqin dan Jaringan Keilmuan Ulama Banten serta Timur Tengah Abad ke-18 M

Berikut ini adalah halaman manuskrip yang memuat kredensi intelektual (ijazah) yang diberikan oleh seorang ulama besar dunia Islam abad ke-18 M yang mengajar di kota suci Makkah, bernama Syekh Muhammad bin ‘Alî al-Thabari al-Makki (1689–1759), untuk muridnya asal Nusantara yang juga penguasa Kesultanan Banten ke-12, yaitu Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin (memerintah sepanjang tahun 1753–1773).

Teks dari ijazah tersebut berbunyi:

ولقد أجزتُ بقراءة هذا الكتاب أوله وآخره، سيّدَنا ومولانا الخليفة من بعده / الخليفة، السلطان بن السلطان، أبو النصر محمد عارف زين العاشقين / القادري العلواني الرفاعي البنتاني الشافعي؛ من سيدي الشيخ / وقطب المنيف الإمام محمد بن علي الطبري / الحسيني الشافعي

“Dan aku telah memberikan ijâzah untuk dapat membaca kitab ini dari awal hingga akhirnya, kepada tuan kami dan penguasa kami, seorang khalifah yang mewarisi bagi penerus setelahnya, seorang sultan anak dari seorang sultan, yaitu Abû al-Nashr Muhammad ‘Ârif Zain al-‘Âsyiqîn, / yaitu seorang yang mengikuti tarekat Qadiriah, ‘Alwaniah, orang dari Banten, bermadzhab fikih Syafi’i; [tertanda] dari Tuan Guru / dan Pusat Ilmu, yaitu al-Imam Muhammad bin ‘Alî al-Thabarî / al-Husainî al-Syâfi’î,”.

Teks ijazah tersebut tertulis dalam bahasa Arab, dengan jenis aksara Arab (khath) naskhî yang disertai perangkat baca (harakat). Teks ijazah terdiri dari 5 (lima) buah baris dan termuat pada halaman muqaddimah dari kitab yang berisi etika dan manual ajaran tarekat Qadiriah.

Baik teks ijazah maupun kitab manual ajaran tarekat Qadiriah tersebut terhimpun dalam bundel naskah bernomor kode (?), koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Bundel naskah tersebut terbilang tebal, dengan jumlah halaman 385 recto verso (berarti 770 halaman biasa).

Dalam bundel naskah tersebut, terdapat sejumlah teks yang mayoritas berisi ajaran tasawuf dan tarekat. Hampir kesemua teks ditulis dalam bahasa Arab dengan disertai terjemah interlinier (terjemah antar baris atau makna “gandul”) berbahasa Jawa aksara Arab (Jawa Pegon).

Di antara teks yang saya anggap penting dalam kelompok bundel naskah bernomor kode (?) tersebut adalah teks ijazah yang dibuat oleh Syekh Muhammad bin Ali al-Thabari kepada Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin. Tidak ada catatan tawârikh (titimangsa) yang menginformasikan kapan ijazah tersebut ditulis. Namun diperkirakan jika kurun masa penulisan ijazah tersebut antara tahun 1753 hingga 1759.

Selain ijazah, teks penting lainnya yang termuat dalam bundel naskah tersebut adalah teks berisi himpunan wasiat dan ajaran yang khusus ditulis dan diperuntukkan untuk sang sultan. Asumsi saya, sosok penulis himpunan wasiat dan ajaran tersebut adalah juga sosok yang sama yang memberikan ijâzah untuk sang penguasa Banten, yaitu Syekh Muhammad bin ‘Alî al-Thabari. Tertulis dalam pengantar teks wasiat tersebut:

أما بعد. فهذه وصية جمعها الى سيدنا السلطان أبو [النصر] محمد عارف زين العاشقين من بعض وصية المشايخ // الصوفية. فلا بدّ لمن يريد القرب الى ربّ الأرض والسماء

“Ammâ ba’du. Ini adalah sejumlah wasiat yang dihimpun untuk tuan kami, Sultan Abû [al-Nashr] Muhammad ‘Ârif Zain al-‘Âsyiqîn, berasal dari sebagian wasiat para ulama // sufi. Wasiat tersebut haruslah dipegang teguh bagi orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah sang penguasa bumi dan langit,”.

Keberadaan teks-teks yang tersimpan dalam lembaran-lembaran naskah kuno masa silam sebagaimana sekilas didedah di atas, sesungguhnya telah memberikan kita beberapa isyarat dan maklumat penting, berkaitan dengan jejak masa kemegahan sejarah peradaban Islam di kawasan Melayu-Nusantara, utamanya abad ke-18 M. Di antara isyarat dan maklumat tersebut adalah:

Pertama, terkait luasnya jaringan intelektual ulama Melayu-Nusantara, khususnya wilayah Kesultanan Banten, dan koneksinya dengan kawasan Timur Tengah, pada kurun masa abad ke-18 M.

Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Prof. Dr. Azyumardi Azra secara luas mengulas perihal koneksi keilmuan dan jaringan ulama yang menghubungkan wilayah kepulauan Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah, khususnya Haramayn, pada kurun masa abad ke-17 dan 18 M.

Abad ke-18 M diisyaratkan oleh Prof Azra sebagai abad yang dinamis dalam bentangan sejarah peradaban Islam Nusantara. Pada kurun masa tersebut, terdapat sejumlah ulama raksasa asal Nusantara yang memiliki pengaruh sangat besar dalam perkembangan dinamika kelimuan dan pemikiran Islam di kawasan Asia Tenggara. Di antara para ulama tersebut adalah Syekh Faqih Jalaluddin Aceh (w. ?), Syekh Muhammad Zain Aceh (w. ?), Syekh Abdul Shamad Palembang (w. 1792/1832), Syekh Arsyad Banjar (w. 1812), Syekh Nafis Banjar (w. 1812), Syekh Abdurrahman Betawi, dan lain-lain.

Prof Azra menyebutkan jika ulama-ulama di atas terkoneksi secara jaringan keilmuan dengan para ulama di Timur Tengah, seperti Syekh Muhammad bin al-Sammân al-Madanî (w. 1776), Syekh Muhammad bin Sulaimân al-Kurdî al-Madanî (w. 1780), Syekh Muhammad Sa’îd bin Ibrâhîm bin Muhammad Abû Thâhir al-Kûrânî al-Madanî (w. 1782), dan lain-lain.

Tampaknya, terdapat jaringan keilmuan lain di abad ke-18 M yang menghubungkan wilayah Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah, yang belum mendapat sorotan secara memadai oleh Prof Azra dalam bukunya itu. Jaringan tersebut menghubungkan sosok penguasa Kesultanan Banten ke-12, yaitu Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin (m. 1753–1773), yang merupakan murid langsung dari sosok ulama besar Makkah Syekh Muhammad bin ‘Alî al-Thabarî al-Makkî (w. 1759). Baik sang sultan atau pun gurunya, yaitu al-Thabarî, belum banyak diulas secara memadai oleh Prof Azra.

Keberadaan teks ijazah di atas, yang diberikan oleh al-Thabarî kepada sang murid, yaitu Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin pada pertengahan abad ke-18 M, menegaskan adanya koneksi dan jaringan keilmuan yang kuat antara Banten dan Makkah pada kurun masa abad tersebut.

Sosok ulama Banten lainnya yang juga terlibat dalam poros jaringan ulama di abad ke-18 tersebut adalah Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani (aktif antara tahun 1740 hingga 1780-an). Prof Dr Martin van Bruinessen, dalam artikelnya yang berjudul “Shari’a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions in the Banten Sultanate (Archipel 50, 1995), sekilas menyinggung sosok Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani sebagai murid Syekh Muhammad bin ‘Alî al-Thabarî al-Makkî, serta hubungan patronase al-Bantani dengan Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin.

Kedua, terkait megahnya tradisi keilmuan Islam yang berkembang di wilayah Kesultanan Banten pada kurun masa abad ke-18 M.

Dalam konteks Nusantara abad ke-17 dan 18 M, Kesultanan Banten adalah salah satu wilayah yang memiliki tradisi keilmuan yang megah, yang sebanding dengan Aceh. Sepanjang kurun masa abad ke-17 dan 18 M, Banten dikaruniai sejumlah sultan yang bukan hanya merupakan sosok penguasa politik dan negarawan yang ulung, tetapi juga ulama yang mumpuni.

Sekedar menyebut, terdapat nama Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir (m. 1596–1650), Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (w. 1651), Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah (m. 1651–1683), Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (m. 1733–1750), Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin (m. 1753–1773), Sultan Abu al-Mafahim Muhammad Aliyuddin (m. 1773–1799), dan lain-lain.

Para penguasa Banten tersebut, dari generasi ke generasi, telah melakukan ri’âyah bagi berkembangnya tradisi intelektual Islam di wilayah kekuasaan mereka. Selain berpatronase dengan sejumlah ulama besar baik dari Timur Tengah atau pun dari wilayah Melayu-Nusantara lainnya, para sultan Banten tersebut juga telah mensponsori lahirnya sejumlah karya ilmiah dan warisan susastra yang brilian.

Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir dan putranya, Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad, tercatat sebagai murid dari Syekh Muhammad ‘Alî bin ‘Allân al-Shiddîqî al-Makkî (w. 1647), dikenal dengan Ibnu ‘Allân, ulama sentral dunia Islam yang mengajar di Makkah. Ibnu ‘Allân secara khusus menulis 4 buah karya untuk Sultan Abu al-Mafakhir dan Sultan Abu al-Ma’ali, yaitu al-Mawâhib al-Rabbâniyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah, al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk fî Syarh Nashîhah al-Mulûk, Ghaush al-Bihâr al-Zâkhirah fî Syarh al-Durrah al-Fâkhirah, dan Kasyf al-Hijâb li Jawâb al-‘Arâ’is al-Khamsah al-Abwâb.

Demikian halnya dengan Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah alias Sultan Ageng Tirtayasa, yang merupakan patron dari Syekh Yusuf Makassar (w. 1699), ulama Nusantara asal Sulawesi yang menjadi mufti di lingkungan Banten lalu diasingkan oleh Belanda ke Afrika Selatan. Dalam sejumlah karyanya, Syekh Yusuf Makassar menyebut jika ia menuliskan karya-karya tersebut atas sponsor dari Sultan Abu al-Fath.

Di abad ke-18 M, kemegahan tradisi keilmuan tersebut dilanjutkan oleh beberapa sultan, di antaranya adalah Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin, yang berpatronase dengan Syekh Muhammad bin ‘Alî al-Thabarî al-Makkî dan Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani. Di antara karya yang lahir atas prakarsa sang sultan adalah Masyâhid al-Nâsik fî Maqâmât al-Sâlik, Fath al-Mulûk li Yashil ilâ Malik al-Mulûk, dan lain-lain.

Sosok Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin teridentifikasi bukan semata-mata sebagai seorang penguasa politik dan negarawan semata, tetapi juga seorang ulama ahli ilmu fikih dan tasawuf. Ia bahkan tercatat sebagai seorang mursyid dari berbagai macam tarekat, seperti Qadiriah, Alwaniah, dan Rifa’iah.

Masa pemerintahan Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin juga kaya akan peninggalan catatan kumpulan arsip hukum yang diputuskan oleh pengadilan negara di lingkungan kesultanan tersebut. Berbagai catatan hukum tersebut diputuskan oleh grand qadhi kesultanan Banten yang bergelar “Kiyahi Peqih Najmuddin”. Sebagian besar arsip dan manuskrip putusan hukum tersebut tersimpan dalam manuskrip bernomor kode LOr. 5626 koleksi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Dr. Ayang Utriza Yakin, mengkaji manuskrip tersebut dalam artikel berjudul “The Register of the Qadi Court: ‘Kiyahi Pěqih Najmuddin’ of the Sultanate of Banten, 1754-1756 CE” (Studia Islamika, Vol. 22, No. 3, 2015).

Ketiga, terkait tingginya sanad keilmuan sultan dan ulama Banten di abad ke-18 M.

Sesungguhnya, teks ijazah di atas juga terhubung dengan kitab berjudul “Faidh al-Ahad fî al-‘Ilm bi ‘Uluww al-Sanad”, karya dari Syekh Muhammad b. ‘Alî al-Thabarî. Kitab tersebut berisi himpunan sanad keilmuan al-Thabarî dan dan jalur periwayatan berbagai macam disiplin keilmuan Islam yang didapatkannya dari sejumlah gurunya yang berasal dari Makkah, Madinah, Kairo, Alexandria, Damaskus, Yaman, dan lain-lain.

Dalam “Faidh al-Ahad”, al-Thabarî menyebutkan silsilah keguruan dan sanad keilmuan atas berbagai macam bidang disiplin ilmu dan kitab-kitab rujukan yang dipelajari dan diajarkannya. Di antaranya adalah sanad atas kutub al-sittah (kitab hadits enam), fikih syafi’i, akidah Ahlussunnah wal Jamaah, hingga tasawuf dan tarekat. Tak tanggung-tanggung, kualitas dan level sanad keilmuan al-Thabarî tersebut terhitung sebagai sanad yang ‘âlî atau tinggi.

Di antara ulama yang tercatat sebagai guru dan menjadi jalur periwayatan al-Thabarî adalah seorang perempuan ulama Makkah bernama Syaikhah Quraisy binti ‘Abd al-Qâdir al-Makkî, juga Syekh ‘Abd al-Qâdir bin Abû Bakr al-Shiddîqî al-Hanafî (w. 1726), Syekh Ahmad bin Salâmah al-Iskandarî al-Mâlikî (w. 1736), dan lain-lain. Para ulama tersebut terhubung dengan sosok Syekh Muhammad Syams al-Dîn al-Bâbilî al-Azharî (w. 1666), ulama sentral dunia Islam yang mengajar di Al-Azhar Kairo (Mesir); juga dengan sosok Syekh Ahmad al-Qusyâsyî al-Madanî (w. 1661), ulama dunia Islam yang mengajar di Madinah.

Jalur transmisi dan sanad keilmuan al-Thabarî dengan kualitas ‘âlî atau tinggi yang terhimpun dalam “Faidh al-Ahad” tersebut yang tampaknya juga ia wariskan dan ijazahkan kepada dua orang muridnya yang berasal dari Banten, yaitu Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin dan Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani.

Karena itu, kita bisa mengandaikan jika sanad keilmuan Sultan Abu al-Nashr Muhammad Arif Zainul Asyiqin dan Syekh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani, melalui sosok guru keduanya, yaitu Syekh Muhammad bin ‘Alî al-Thabarî al-Makkî, terhubung dengan para transmitter besar dunia Islam sekaliber Syekh ‘Abd al-Qâdir bin Abû Bakr al-Shiddîqî al-Hanafî al-Makkî (transmitter Makkah, Hijaz), Syekh Muhammad Syams al-Dîn al-Bâbilî al-Azharî (transmitter Al-Azhar, Mesir) dan lain-lain.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) menyimpan salah satu naskah salinan dari kitab “Faidh al-Ahad” tersebut, yaitu koleksi bernomor kode A. 34. Naskah koleksi PNRI tersebut jelas memiliki keterkaitan dan hubungan dengan naskah koleksi Perpustakaan Universitas Leiden yang disebutkan di atas. Uniknya, manuskrip “Faidh al-Ahad” koleksi PNRI ditulis dalam bahasa Arab dengan terjemahan antar baris berbahasa Jawa Pegon.

Wallahu A’lam.

A. Ginanjar Sya’ban, Filolog Islam Nusantara sekaligus Penulis Buku Dokumen Perjalanan Komite Hijaz dan Mahakarya Islam Nusantara

Contact Me