Hukum Gugat Cerai Karena Suami Memiliki Hobi Personal

Ketika dua insan mengikat janji untuk membangun rumah tangga, keduanya tidak memiliki niatan untuk bercerai. Namun terkadang dalam perjalanannya, ada saja persoalan yang dihadapi, dari yang paling remeh, berat, hingga yang paling pelik. Hingga akhirnya, pasangan suami istri memilih mengakhiri janji agung yang dibuat.

Menjalani bahtera rumah tangga tidak lantas membuat sebagian orang meninggalkan hobi yang digemari. Pernikahan tidak menjadi penghambat baginya untuk terus menjalani hobi. Tidak mudah memang meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi hobi dan biasa dilakukan. Akan tetapi, perlu disadari bahwa setelah berkeluarga ada hak dan tanggung jawab yang harus tetap dijaga dan dilaksanakan.

Memiliki hobi merupakan hal yang wajar dimiliki setiap orang. Namun bagaimana jadinya, bila hobi justru menjadi malapetaka bagi hubungan rumah tangga. Bisa saja semua tanggungan dan kewajiban terbengkalai karenanya.

Bagi sebagian istri, memiliki suami yang aktif menjalani hobi mungkin menjadi beban tersendiri. Istri merasa kalau suami lebih memprioritaskan hobi dari anak dan istri. Persoalan semacam ini yang kadang membuat istri memutuskan untuk menggugat cerai.

Perceraian menjadi sebagai solusi terakhir dalam memperbaiki hubungan rumah tangga jika memang solusi lain tidak berhasil dilakukan. Agama Islam menekankan pentingnya menjaga komitmen pernikahan dalam situasi apapun. Sebagaimana tercermin dalam sabda Rasulullah saw:

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

Artinya, “Perkara halal yang paling dimurkai Allah adalah perceraian (talak),” (HR Abu Dawud).

Hadits ini memberi gambaran bahwa perceraian bukanlah solusi terbaik dalam menghadapi segala permasalahan rumah tangga. Perceraian bisa ditempuh bilamana pernikahan sudah tidak bisa diteruskan lagi dengan berbagai cara.

Dalam Islam, istri memiliki hak mengajukan gugatan cerai dengan cara khulu’. Yaitu perceraian dengan dengan membayar sejumlah kompensasi harta atas kesepakatan bersama suami. Khulu’ ada dua kategori, yaitu khulu’ yang didasari alasan, dan yang tidak didasari alasan.

Khulu’ yang didasari alasan alasan terbagi menjadi empat. Di antaranya adalah yang dihukumi mubah. Khulu’ yang mubah ada dua macam: pertama khulu’ karena tidak menyukai suami sebab buruk akhlaknya, buruk agamanya, dan yang lain. Kedua, khulu’ karena ketidakmampuan suami dalam memenuhi nafkah.

 

Imam Al-Mawardi menjelaskan:

فَأَمَّا الْقِسْمُ الْأَوَّلُ: وَهُوَ الْمُبَاحُ فَيَكُونُ مِنْ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ: إِمَّا لِكَرَاهَةٍ وَإِمَّا لِعَجْزٍ. فَأَمَّا الْكَرَاهَةُ فَهُوَ أَنْ تَكْرَهَ مِنْهُ إِمَّا سُوءَ خُلُقِهِ، وَإِمَّا سُوءَ فِعْلِهِ وَإِمَّا قِلَّةَ دِينِهِ وَإِمَّا قُبْحَ مَنْظَرِهِ وَهُوَ مُقِيمٌ بِحَقِّهَا، فَتَرَى لِكَرَاهَتِهَا لَهُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْوُجُوهِ أَنْ تَفْتَدِيَ مِنْهُ نَفْسَهَا فَتُخَالِعُهُ فَيَكُونُ ذَلِكَ مُبَاحًا. وَأَمَّا الْعَجْزُ فَيَكُونُ تَارَةً لِعَجْزِهِ عَنِ الِاسْتِمْتَاعِ أَوِ الْمَالِ، وَأَمَّا الْعَجْزُ عَنْ كَثْرَةِ الِاسْتِمْتَاعِ فَتُخَالِعُهُ لِأَجْلِ الْعَجْزِ فَيَكُونُ الْخُلْعُ مُبَاحًا

Artinya, “Adapun pembagian yang pertama adalah khulu’ yang mubah. Khulu’ mubah bisa berasal dari salah satu pasutri. .Adakalanya karena ketidaksukaan dan adakalanya karena ketidakmampuan.

Khulu’ karena ketidaksukaan adalah istri tidak menyukai suami baik karena buruk akhlaknya, buruk perilakunya, kurang agamanya, atau karena penampilannya jelek, sementara suami tetap memenuhi hak istri. Kemudian karena tidak suka itu istri menebus dirinya dan menuntut khulu’. Khulu’ seperti ini boleh dilakukan.

Adapun khulu’ karena ketidakmampuan suami, maka kadang karena ketidakmampuan suami dalam urusan ranjang atau ketidakmampuan suami dalam urusan harta. Adapun ketidakmampuan suami menggauli istri di ranjang secara optimal, kemudian istri mengajukan khulu’, maka hukumnya boleh.” (Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1999], juz V, halaman 10).

Penjelasan senada disampaikan oleh Syekh Najib Al-Muthi’i. Ia menyatakan, termasuk khulu’ yang dibolehkan adalah istri meminta cerai karena tidak senang dengan akhlak dan agama suami serta dia khawatir tidak bisa menunaikan haknya sebagai istri. Ia mengatakan:

فأحد المباحين إذا كرهت المرأة خلق الزوج أو خلقه أو دينه وخافت أن لا تؤدى حقه فبذلت له عوضا ليطلقها جاز ذلك وحل له أخذه بلا خلاف

Artinya, “Salah satu khulu’ yang mubah adalah ketika istri tidak menyukai fisik suami, akhlaknya atau agamanya dan dia khawatir tidak bisa memenuhi hak suaminya, kemudian dia membayar kompensasi agar sang suami menjatuhkan talak, maka hal itu boleh dan suami boleh mengambil kompensasi tersebut tanpa ada perbedaan ulama”. (Takmilatul Majmu’ Syarhil Muhaddzab, [Beirut, Darul Fikr: t.t.], juz XVIII, halaman 6).

Melihat penjelasan di atas, jika yang menjadi penyebab perceraian (khulu’) adalah tidak menyukai suami karena hobi yang dimilikinya, maka gugat cerai boleh dilakukan jika hobi sang suami termasuk perilaku buruk atau hobi yang dilarang dalam agama. Termasuk hobi yang buruk adalah hobi yang menyebabkan lalai akan tanggung jawab sebagai suami.

Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa menjalani hobi memang sah-sah saja, akan tetapi hak dan kewajiban sebagai suami harus dinomor satukan. Jangan sampai dengan hobi yang dijalani membuat hak nafkah istri dan anak menjadi terhambat.

Terkadang ementingkan hobi tidak hanya berdampak pada pemenuhan nafkah, tapi juga dapat mengganggu kehidupan rumah tangga. Suami yang terlalu fokus pada hobinya membuat beban tanggung jawab dalam rumah tangga mungkin jatuh lebih berat kepada istri. Istri harus mengurus keperluan rumah dan anak sendirian saat suami terlalu asik dengan dunianya sendiri.

Hal ini akan membuat ketidakseimbangan peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Jika terjadi seperti ini, maka segera lakukan komunikasi yang baik agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Selain itu, kebutuhan rumah tangga tidak selalu soal nafkah, tetapi juga kehadiran orang tua terutama bagi anak. Terlalu mementingkan hobi dapat berdampak pada kurangnya perhatian terhadap anak. Padahal, keterlibatan seorang ayah sangat penting bagi pertumbuhan anak.

Anak yang tidak memiliki hubungan dekat dengan seorang ayah dapat mengalami gejala fatherless. Fatherless dialami oleh anak yang tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran seorang ayah. Dampak negatif dari gejala ini diantara dapat menghambat pertumbuhan anak secara emosional.

Kerena itu, penting sekali bagi suami untuk selalu proporsional dalam menjalani hobinya. Kehidupan rumah tangga jauh lebih penting daripada kesenangan pribadi. Islam mengajarkan agar suami selalu berbuat baik dan menaruh perhatian lebih kepada keluarganya. Suami terbaik adalah suami yang berbuat baik dan selalu mementingkan keluarganya. Sebagaimana tercermin dalam sabda Rasulullah saw:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

Artinya, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pada keluarganya. Aku sendiri adalah orang yang paling baik pada keluargaku,” (HR At-Tirmidzi).

 

Rasulullah saw telah mengajarkan bagaimana pentingnya berbuat baik kepada keluarga. Peran seorang suami tidak hanya soal nafkah, tapi juga dalam membentuk hubungan emosional yang baik agar tercipta keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Wallahu a’lam.

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura Jawa Timur

Contact Me