Bandung, NU Online Jabar
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Barat mengadakan bahtsul masail qubro dalam rangka memperingati Maulid Akbar dan Haul Abuya KH Nasihin Amin ke-5 di Pondok Pesantren Al-Kautsar Cilimus, Kabupaten Kuningan, pada 2-3 Oktober 2024.
Salah satu topik yang dibahas dalam forum tersebut adalah rencana pemerintah untuk mewajibkan asuransi third party liability (TPL) bagi mobil dan motor mulai tahun 2025.
Asuransi TPL adalah jenis asuransi yang menanggung risiko tuntutan ganti rugi dari pihak ketiga. Artinya, pemilik kendaraan bermotor yang terlibat dalam insiden yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain akan dibantu oleh asuransi dalam hal pembayaran kompensasi. Dengan kebijakan ini, korban insiden lalu lintas akan menerima ganti rugi dan santunan dari asuransi jika kendaraan yang terlibat telah terdaftar dalam asuransi TPL.
Rencana penerapan kebijakan ini dijadwalkan berlaku paling lambat Januari 2025, namun hingga saat ini masih menunggu terbitnya peraturan pemerintah (PP). Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menjelaskan bahwa pengaturan lebih lanjut terkait hal ini masih dalam proses.
Biaya premi asuransi TPL bervariasi tergantung pada jenis asuransi yang dipilih serta wilayah kendaraan terdaftar. Sebagai contoh, premi asuransi motor all risk di Jakarta berkisar antara 3,18% hingga 3,50% dari nilai pertanggungan. Sementara itu, premi asuransi TPL berkisar antara 1,76% hingga 2,11% dari nilai pertanggungan.
Meskipun memiliki manfaat, kebijakan ini mendapat tanggapan negatif dari sebagian masyarakat, terutama kalangan menengah bawah yang merasa terbebani dengan potensi biaya tambahan. Masyarakat saat ini sudah menghadapi kewajiban membayar pajak kendaraan dan biaya lainnya, dan penambahan asuransi TPL dinilai akan semakin memberatkan.
Beberapa aktivis bahkan menyarankan agar pemerintah lebih mengoptimalkan peran Jasa Raharja, sebuah perusahaan asuransi sosial milik negara yang menangani asuransi kecelakaan lalu lintas, daripada membebani masyarakat dengan kewajiban asuransi TPL.
Selain itu, situasi ekonomi yang belum stabil, seperti penurunan daya beli dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), membuat masyarakat merasa kurang siap menghadapi beban tambahan ini.
Dari diskusi bahtsul masail tersebut, muncul dua pertanyaan penting:
1. Apakah rencana peraturan pemerintah (PP) ini layak diterbitkan dengan mempertimbangkan situasi saat ini?
2. Termasuk akad apa asuransi ini jika diwajibkan?
Hasil bahtsul masail menyimpulkan bahwa meskipun niat pemerintah untuk melindungi masyarakat dengan mewajibkan asuransi TPL dianggap baik, peraturan ini dinilai belum layak diterbitkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain kewajiban tersebut akan membebani semua golongan, termasuk masyarakat tidak mampu, dan asuransi ini belum dianggap sebagai kebutuhan mendesak (hajat ‘ammah). Selain itu, masyarakat sudah terbebani oleh iuran lain seperti pajak dan Jasa Raharja.
Sementara akadnya yaitu Gugur.
Lebih lanjut, penjelasan hasil bahtsul masail dan referensinya dapat diakses melalui tautan berikut.