Fase kehidupan terbaik dalam Islam adalah masa ketika Rasulullah bersama para sahabatnya hidup. Artinya, setiap seluk beluk kehidupan pada masa itu sangat ideal untuk diteladani.
Salah satu bagian kehidupan mereka yang dapat diteladani oleh generasi sekarang adalah kehidupan berkeluarga. Dengan tempaan dan didikan langsung dari Nabi, kehidupan keluarga para sahabat menjadi inspirasi bagi kaum muslimin yang setelahnya.
Mengenai fase terbaik dalam Islam yang diisi oleh Rasulullah dan para sahabatnya, Nabi pernah menegaskan dalam sebuah hadits:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال : إن خيركم قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم
Artinya, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ‘Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya’.” (Imam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, [Beirut: Darul Fikr, 1981], jilid III, halaman 171).
Di antara sahabat Rasulullah Saw, ada para Khulafaur Rasyidin yang dipandang sebagai sahabat yang paling utama di antara sahabat lainnya. Keutamaan salah satunya dikarenakan mereka telah menjadi besan Rasulullah. Putrinya Sayyidina Abubakar dan Umar menikah dengan Rasulullah. Putri Rasulullah menikah dengan sahabat Utsman dan Sayyidina Ali.
Khalifah Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang paling mulia. Ia mencontohkan tanggung jawab besar dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Ketika ditanya mengapa ia tetap bekerja setelah menjadi khalifah, ia menjawab;
“Kaumku tahu bahwa pekerjaanku adalah berdagang, dan itu sudah mencukupi kebutuhan keluargaku. Namun, karena tugas kekhalifahan menyibukkan aku dengan urusan kaum Muslimin, maka untuk kebutuhan keluargaku, aku mengambil dari Baitul Mal.”
Begitu halnya dengan Sayyidina Umar bin Khattab, seorang khalifah yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Muhammad bin Alwi Al Idrus dalam kitab Kayfa Takunu Ghaniyyan menyebutkan:
وكذلك كان سيدنا عمر بن الخطابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي الْفَضْلِ، وَالْقِيَاَمِ بِأَوْلادِهِ، فَكَانَ يَأْخُذُ قُوْتَهُ وَقُوْتَ عِبَالِهِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ (هَلْ تَدْرُونَ مَا أَسْتَحِلُّ مِنْ هَذَا الْمَالِ؟ ثَوْبَيْنِ لِلشَّتَاءِ وَالْقَيْظِ وَظَهْرًا أَحْج عَلَيْهِ، وَقُوْتُ رَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ، لَيْسَ بِأَرْفَعِهِمْ وَلَا بِأَوْضَعِهِمْ) وَكَانَ يَقُولُ: وَاللهِ مَا أَدْرِي أَيَحِلُّ لِي ذَلِكَ أَمْ لَا؟).
Artinya, “Begitu pula Sayidina Umar bin Khattab yang mempunyai banyak keutamaan, termasuk dalam menunaikan kebutuhan anak-anaknya. Beliau sendiri yang membawa makanan pokok miliknya dan keluarganya dari Baitul Mal.
Beliau juga berkata: ‘Apakah kalian tahu, sebatas apa harta dari Baitul Mal yang Aku anggap halal bagi diriku? Yaitu dua baju untuk musim dingin dan panas, serta hewan tunggangan yang mengantarkanku untuk melaksanakan ibadah haji, juga makanan pokok seberat makanan yang biasa diterima oleh seorang Quraisy, bukan dari golongan petinggi ataupun bawahan.’
Beliau juga berkata: ‘Demi Allah, Aku masih khawatir, harta yang aku terima dari Baitul Mal itu halal atau tidak?’” (Muhammad bin Alwi Al Idrus, Kayfa Takunu Ghaniyyan, [Yogyakarta, Kalam Salaf Publisher, 2021], halaman 30).
Hal yang serupa juga dilakukan oleh Sayyidina Utsman bin Affan yang jauh sebelum menjadi khalifah adalah seorang pengusaha besar. Muhammad bin Alwi Al Idrus memaparkan teladan Utsman dalam bertanggung jawab memberi nafkah;
أمَّا سَيِّدُنَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَكَانَ مِثْلَهُمَا فِي الْفَضْلِ وَالْقِيَامِ بِالْأَمْرِ، وَلَقَدْ كَانَ أَحَدَ بُخَارِ الصَّحَابَةِ وَأَغْنَاهُمْ، وَقَصَصُهُ مَشْهُورَةٌ وَمَعْلُومَةٌ.
Artinya: “Adapun Utsman bin Affan, beliau serupa dengan keduanya (Abu Bakar dan Umar) dalam hal keutamaan dan kewajiban, dan beliau termasuk salah satu sahabat yang paling kaya, dan kisah-kisahnya sangat masyhur.” (Kayfa Takunu Ghaniyyan, halaman 31).
Dalam berumah tangga, istri Utsman adalah Ruqayyah, putri Nabi yang telah meninggal terlebih dahulu. Setelah itu, ia menikahi saudarinya, yaitu Ummu Kultsum. Sayyidina Utsman menikah dengan Ruqayyah dua tahun sebelum Hijrah dan memiliki anak bernama Abdullah. Kemudian almarhumah Ruqayyah meninggal pada hari kemenangan, yaitu perang Badar.
Setelah itu, Utsman menikah dengan saudarinya yang bernama Ummu Kultsum yang meninggal pada tahun 9 Hijriyyah. Dari pernikahan ini Sayyidina Utsman mendapat julukan sebagai pemilik dua cahaya (dzunnurain), karena ia telah menikahi dua putri Nabi.
Sesudah meninggalnya Ummu Kultsum, Sayyidina Utsman menikah lagi dengan Sakhithah binti Ghazwan, Fathimah binti Walid, dan Ummul Banin binti Uyainah bin Hishan. Adapun istri terakhirnya adalah Nailah binti Al-Farafishah.
Kemudian teladan yang terakhir adalah Sayyidina Ali. Sebagai ahli baitnya Rasulullah, beliau sangat gigih dalam bekerja bahkan untuk keluarganya, termasuk Rasulullah sebagai mertuanya. Keterangan ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya:
عن ابن عباس قال أصاب نبي الله صلى الله عليه و سلم خصاصة . فبلغ ذلك عليا . فخرج يلتمس عملا يصيب فيه شيئا ليقيت به رسول الله صلى الله عليه و سلم . فأتى بستانا لرجل من اليهود . فاستقى له سبعة عشر دلوا . كل دلو بتمرة . فخيره اليهودي من تمره سبع عشرة عجوة . فجاء بها إلى نبي الله صلى الله عليه و سلم
Artinya, “Dari Ibnu Abbas, dia berkata: ‘Nabi Muhammad mengalami kekurangan (makanan). Hal ini sampai kepada Ali, maka dia pergi mencari pekerjaan agar mendapatkan sesuatu untuk memberikan makan kepada Rasulullah. Dia mendatangi kebun milik seorang Yahudi, lalu menimba air untuknya sebanyak tujuh belas ember. Setiap embernya diberi upah satu kurma. Kemudian orang Yahudi itu memberinya 17 buah kurma Ajwa. Ali membawa kurma-kurma itu kepada Nabi Allah.” (HR Ibnu Majah)
Ketika Fatimah melahirkan anak pertamanya, Rasulullah sangat bergembira. Rasulullah bertanya tentang namanya, kemudian Ali menjawab, “Namanya Harb.” Nabi kemudian berkata, “Aku tidak suka nama ini.” Ali kemudian berkata, “Lalu, kita namakan siapa?” Nabi kemudian menjawab, “Dia adalah Hasan, maka namakanlah Al-Hasan.” Setelah itu, Fatimah melahirkan anaknya yang kedua yang bernama Al-Husain dan ia tumbuh bersama saudaranya.
Dalam tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, Sayyidina Ali pernah mendatangi seorang Yahudi yang memiliki kebun kurma. Khalifah Ali kemudian bekerja dengan perjanjian bahwa setiap Sayyidina Ali menimba satu ember dari sumur maka ia akan mendapatkan imbalan beberapa butir kurma.
Khulafaur Rasyidin telah mewariskan keteladanan mulia kepada kita dalam interaksi berumah tangga. Pelajaran tanggung jawab ini hendaknya terus menjadi penyemangat kita dalam bekerja mencari nafkah untuk keluarga.
Ustadz Tgk. Azmi Abubakar, Penyuluh Agama Islam KUA Glumpang Tiga, Pidie, Aceh, Penulis Buku Pernak Pernik Pernikahan