Momen Ramadhan menjadi momen spesial bagi umat Islam. Semangat beribadah di bulan ini seringkali mengalami peningkatan. Sampai yang jarang shalat sekalipun, dimensi ruhaninya ikut tergerak untuk berpuasa. Jadinya berpuasa tapi tidak shalat.
Kalimat di atas memang terdengar janggal jadinya. Shalat sebagai tiang agama, yang mestinya mendapat perhatian utama dalam konfigurasi ritual seorang muslim malah ditinggalkan.
Secara fiqih, cara beribadah seperti ini jelas bermasalah, tidak dapat dibenarkan. Yang benar adalah menjalankan keduanya. Karena sama-sama perintah Allah Swt yang bernilai wajib. Namun bila kita keluar sejenak dari cara pandang fiqih ahkam, lalu memakai cara pandang fiqh dakwah, ada hal yang bisa kita renungkan melihat fenomena tersebut.
Setiap muslim yang mengakui Allah Swt sebagai Rabb-nya memiliki kebutuhan ruhani untuk membangun relasi intim dengan Allah Swt. Sekecil apapun bentuk relasi dengan Rabb-nya, hal itu penting untuk terus dijaga dan dirawat, jangan sampai terputus sama sekali.
Pijakannya adalah, bahwa setiap kebaikan mampu menghadirkan kebaikan-kebaikan lainnya. Begitu pula sebaliknya, keburukan dapat memicu berbagai keburukan lainnya.
Seorang muslim yang berpuasa tapi tidak shalat, setidaknya ia masih menyimpan potensi kebaikan dengan menjaga hubungannya dengan Alloh, tidak membiarkannya terputus sama sekali.
Dikisahkan dalam kitab Al-Fushulul ilmiyah, ada seorang begal yang larut dalam kemaksiatan, meski begitu dia memiliki sedikit hubungan transenden dengan Tuhan-nya. Setelah sekian lama, didapati begal tersebut sedang thawaf di Ka’bah dengan penuh kekhusyukan. Orang yang mengenal sebelumnya jadi penasaran, hingga memberanikan bertanya, “Bukankah engkau yang dulu itu?” Lalu dijawabnya, “iya benar, itulah masa lalu saya.”
“Apa yang membuatmu menjadi seperti sekarang ?” Jawab dia, “meski dulu seperti itu, saya masih menyimpan sedikit hubungan ruhiyah dengan berpuasa sunah, karena hanya itu yang aku mampu.”
Dengan sedikit bekal puasa sunnah yang ia kerjakan mampu mendatangkan kebaikan-kebaikan lainnya, hingga mengikis keburukan yang selama ini ia lakukan.
Fenomena paradoks di atas, puasa tapi tidak sholat fardhu, bisa jadi banyak kita temui di sekitar kita. Dengan bentuk yang sama, atau dalam bentuk paradoks lain yang berbeda. Dengan melibatkan banyak perspektif, memandang sesuatu menjadi lebih luas dan dalam. Fiqih ahkam sangat urgen disampaikan sebagaimana urgennya menyampaikan masalah akidah dan akhlak.
Dalam rumusan Prof. Naquib Alattas, tatanan masyarakat tidak akan banyak bertransformasi menjadi lebih baik jika hanya mengandalkan fiqih, melainkan perlu disertai akidah dan akhlak, sehingga berislam bukan saja secara ritual, tetapi juga secara pikiran. Wallahu ‘alam.
Penulis merupakan Ketua Lembaga Bahtsul Masail MWCNU Karangpawitan Garut