Altruisme dan Common Good: Filantropi dalam Gerakan Indonesia Berwakaf

Socrates, seorang filsuf Yunani konon pernah mengatakan bahwa “kebaikan akan menyatukan orang-orang yang mencintainya, meskipun mereka sedang dalam keadaan saling memarahi dan membenci”.

Berbagai literatur yang menjadi rujukan pembelajaran akhlak di Pondok Pesantren menyebutkan bahwa di antara faktor yang dapat memperkuat kerukunan, persatuan, dan persaudaraan adalah al-birr (kebaikan) dan al-ihsan ila an-nas, berbuat baik kepada sesama.

Al-birr (kebaikan) adalah satu istilah yang sangat dekat dan melekat dengan wakaf. Berbagai literatur menyebutkan bahwa landasan dan atau dalil wakaf antara lain mengacu kepada Surah Ali ‘Imron ayat 92, yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh al-birr (kebajikan yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya,”.

Setelah Ayat tersebut turun, Sahabat Abu Thalhah RA menghadap kepada Rasulullah SAW untuk untuk “konsultasi” berkaitan dengan “Bairuhaa”, kebun miliknya yang sangat strategis dekat Masjid Nabawi dan memiliki sumber air tawar yang kerap kali didatangi oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Ayat tersebut juga menginspirasi dan memotivasi Amirul Mu’minin Sahabat Umar Ibn Khattab RA untuk mewakafkan tanahnya yang sangat subur dan berharga di Khaibar. (Lihat antara lain: Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Asy-Syarhul Mumti’ Kitab al-Waqf, Riyad, Dar Ibn Jauzi, halaman 5-6).

Menurut Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah SAW memberikan saran Kepada Sahabat Umar Ibn Khattab RA  dan Abu Thalhah RA, dengan ungkapan: in syi’ta habasta ashlaha wa tashadaqta biha, jika engkau mau, engkau dapat menahannya dan menyedekahkan hasilnya.

Menurut Ibnu Umar, tanah tersebut kemudian ditahan, tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan, dikelola, dan hasilnya dibagikan kepada kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil, dan para tamu. Pengelolanya juga  diperkenankan memakan atau memberi makan kerabatnya dari sebagian dari hasil pengelolaan kebun tersebut secara ma’ruf (wajar), tidak berlebihan.

Solusi yang ditawarkan oleh Rasulullah SAW dinilai sangat “cerdas”, dengan menempatkan satu aset sebagai public goods–dimana tidak ada satu orang pun yang merasa memiliki “hak lebih” atas aset tersebut. Tatanan norma tersebut akan melahirkan kesadaran dan kepedulian kolektif untuk memelihara dan menjaga keabadaian aset. Itulah kenapa saat ini kita masih dapat menyaksikan berbagai peninggalan bangunan atau artefak dari jejak peradaban masa lalu, karena adanya tatanan sosial atau aturan yang melindungi aset bersama tersebut.

Secara teoretik, dalam diskursus politik ekonomi, public goods bersinggungan dan memiliki hubungan fungsional dengan common good (kebaikan bersama) yang membingkai dan menyatukan berbagai kepentingan individu dalam wadah kolektif untuk tujuan yang lebih tinggi, berupa keadilan, kebajikan, dan kesejahteraan bersama.

Dalam wacana keseharian, common good (kebaikan bersama) biasanya berbentuk fasilitas—baik secara materi, budaya, atau kelembagaan yang diberikan atau disediakan oleh anggota suatu komunitas kepada semua anggota untuk memenuhi kewajiban relasional antar anggota untuk mewujudkan kepentingan tertentu yang disepakati bersama.

Gerakan Indonesia Berwakaf adalah salah satu solusi cerdas dan potensial untuk mewujudkan common good (kebaikan bersama) melalui penyediaan public goods yang dijaga dan dimanfaatkan bersama. Langkah tersebut pada gilirannya akan memperkuat “energi kolektif” bangsa.

Kesadaran dan panggilan untuk berwakaf, sebagaimana diteladankan oleh Sahabat Abu Thalhah RA dan Sahabat Umar Ibn Khattab RA adalah wujud dari mental dan sikap “altruistik” atau al-Itsar, sikap tidak mementingkan diri sendiri dan siap berkorban untuk menolong orang lain.

Altruisme atau al-Itsar adalah pondasi dan prasyarat penting untuk mewujudkan berbagai cita-cita mulia, misalnya tentang “al-Takaful Al-Ijtima’i” yang diamanahkan oleh al-Qur’an; tentang “jaminan sosial” yang diamanahkan kepada negara melalui Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,  hingga komitmen global tentang “Universal Coverage” yang merupakan salah satu target yang dicanangkan PBB dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Dus, “Gerakan Indonesia Berwakaf” tidak sebatas pada ranah mobilisasi gerakan yang berdimensi fisik-material untuk tujuan mengumpulkan uang dan harta benda wakaf, namun lebih dari itu, gerakan itu harus dibaca juga sebagai gerakan “revolusi mental” untuk memperkuat energi kolektif bangsa melalui penguatan kepekaan, kepedulian, solidaritas kebangsaan, dan kemanusiaan

KH Tatang Astarudin, pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Universal Kota Bandung dan Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia

Contact Me