Al-Walid II: Contoh Pemimpin yang Tone Deaf di Tengah Gejolak Politik

Dalam perjalanan kehidupan sosio-politik, umat Islam mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan pasca wafat Rasulullah SAW. Salah satu kekuatan politik yang pernah memimpin umat Islam adalah Dinasti Bani Umayyah yang didirikan oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan (w. 60 H) pada tahun 41 H. Dinasti Bani Umayyah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus (sekarang di Suriah) dan memerintah selama 90 tahun (41 – 132 H).

Selama periode tersebut, mereka dipimpin oleh 14 orang khalifah. Dalam kepemimpinan 14 khalifah ini, Bani Umayyah banyak mencatatkan tinta emas dalam sejarah Islam. Meskipun demikian, kesuksesan tersebut tidak terlepas dari banyaknya catatan kelam yang mewarnai perjalanan dinasti ini.

Salah satu khalifah Bani Umayyah yang memiliki catatan kelam dalam pemerintahannya adalah Khalifah Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik, yang dikenal sebagai al-Walid II. Ia memimpin antara tahun 125 hingga 126 H. Al-Walid II lahir pada tahun 90 Hijriah dan naik tahta pada usia 35 tahun, setelah pamannya Hisyam bin Abdul Malik wafat. (As-Suyuti, Tarikhul Khulafa, [Kairo: Maktabah Nizar Musthafa al-Baz 2004], halaman 187).

Al-Walid II memiliki perilaku buruk sejak remaja, sehingga banyak pihak yang tidak setuju ketika ayahnya, Yazid bin Abdul Malik (w. 106 H), menunjuknya sebagai putra mahkota kedua setelah usai kepemimpinan pamannya, Hisyam bin Abdul Malik. Meskipun begitu, al-Walid tetap naik tahta.

Banyak catatan kelam dari para ulama dan sejarawan tentang dirinya, salah satunya menyebutkan bahwa al-Walid pernah sengaja melakukan umrah hanya untuk bisa mabuk di depan Ka’bah. (Ath-Thabari, Tarikhur Rusul wal Muluk, [Kairo: Darul Ma’rifah, 1387 H], jilid VII, halaman 209).

Imam as-Suyuti dalam Tarikhul Khulafa menyebut Al-Walid II sebagai seorang yang fasik, pemabuk, dan suka melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Al-Walid II juga disebut menikahi istri ayahnya dan melakukan “liwath” atau homoseksual. (halaman 187).

Ketika Al-Walid naik tahta, ia menghadapi banyak gangguan yang mencoba menggoyangkan kekuasaannya. Gangguan tersebut datang dari gerakan bawah tanah Bani Abbas (cikal bakal Bani Abbasiyah), orang-orang Syiah, bahkan dari keluarganya sendiri yang ingin merebut kekuasaan. Ketidakstabilan politik ini tidak membuat Al-Walid termotivasi untuk memperbaikinya; sebaliknya, ia justru acuh dan malah berfoya-foya.

Salah satu kesalahan fatal Al-Walid II adalah tidak menjaga keutuhan keluarga Bani Umayyah, bahkan memicu pertikaian dengan sepupu-sepupunya dan membiarkan gerakan bawah tanah Bani Abbas berkembang di al-Humaymah dan Khurasan (sekarang wilayah Irak dan Iran).

Gerakan yang dipimpin oleh Muhammad bin Ali al-Abbasi dan diteruskan oleh anaknya, Ibrahim al-Imam, berkembang pesat ketika pemerintahan Al-Walid II di Damaskus mengalami kemunduran dan kehilangan kepercayaan masyarakat.

Terdapat beberapa isu yang melemahkan pemerintahan Al-Walid II. Pertama, perilaku buruk khalifah dan pejabat istana di Damaskus. Sejak wafatnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H), Dinasti Umayyah kehilangan figur dengan karakter yang baik dan tegas dalam amar ma’ruf nahi munkar.

Gaya hidup zuhud dan sederhana dari Umar bin Abdul Aziz tidak dilanjutkan oleh para penerusnya, yang justru cenderung boros dan hidup dalam kemewahan. Istana yang seharusnya menjadi tempat berkumpulnya para teknokrat dan ulama untuk kemaslahatan umat justru sering digunakan untuk pesta.

Kedua, korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemerintahan. Sejak wafatnya Khalifah Al-Walid I (w. 96 H) dan Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H), Dinasti Umayyah tidak mengalami perkembangan signifikan, baik dalam ekspansi wilayah, peningkatan ekonomi, maupun sosial. Ini menunjukkan bahwa para pejabat yang bertugas tidak memiliki kecakapan dan hanya dipilih berdasarkan kekerabatan atau kedekatan lainnya.

Ketiga, pengistimewaan terhadap bangsa Arab dibanding Mawali (Non-Arab). Pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus sangat mengistimewakan bangsa Arab. Hal ini terlihat dari para pejabat penting yang semuanya berasal dari bangsa Arab dan peresmian bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan, meskipun Islam telah tersebar luas dengan berbagai bahasa. Pembangunan juga difokuskan di kota-kota yang mayoritas dihuni bangsa Arab.

Keempat, konflik antara kaum Qays (Arab Utara) dan Yaman (Arab Selatan). Perseteruan antara kaum Qays, keturunan Adnan di Arab Utara, dan kaum Yaman, keturunan Qahtan di Arab Selatan, dimulai saat perang antara Yazid bin Muawiyah dan Abdullah bin Zubair.

Qays yang mendukung Ibnu Zubair kalah namun diterima dalam militer Umayyah. Konflik ini berlanjut ketika Qays mendominasi pasukan al-Walid II, sementara Yaman mendukung gerakan Bani Abbas. Konflik mereda saat Dinasti Abbasiyah memerintah.

Perpecahan Keluarga

Sebelum al-Walid II naik tahta, Khalifah Hisyam berkeinginan mengganti putra mahkota dengan anaknya, Maslamah bin Hisyam. Namun, Al-Walid menggagalkan upaya ini dan tetap naik tahta. Ketegangan berlanjut ketika Al-Walid II menangkap keluarga Hisyam yang mengkritiknya, kecuali Maslamah yang menjadi teman dekatnya. (Ath-Thabari, Tarikhur Rusul wal Muluk, jilid VII, halaman 231).

Gejolak perpolitikan yang memanas kala itu tidak ditanggapi dengan baik oleh Khalifah, bahkan ia sering menjadi salah satu penyebab ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Bani Umayyah.

Gerakan Bani Abbas, yang didukung golongan Mawali dan Syiah semakin besar dan membuat pemerintahan Damaskus semakin lemah, hingga akhirnya benar-benar runtuh beberapa tahun kemudian.

Catatan buruk atas perilakunya membawa kepada kudeta atas pemerintahan Bani Umayyah, bukan oleh gerakan Bani Abbas, melainkan oleh sepupunya sendiri, Yazid bin al-Walid bin Abdul Malik. Al-Walid II hanya memerintah selama 1 tahun 3 bulan. (Adz-Dzhabi, Syiar A’lamin Nubala, [Kairo: Muassasatur Risalah, 1405 H], jilid V, halaman 373).

Ketidakpekaan Al-Walid terhadap ketidakstabilan politik dan banyaknya pihak yang merasa tidak puas atas perilakunya menjadi awal keruntuhan Dinasti Bani Umayyah. Jika seorang pemimpin tidak peka terhadap kestabilan politik dan tuntutan masyarakat, tidak mustahil respons semacam itu menjadi awal kehancuran pemerintahan.

Semoga tidak ada lagi pemimpin seperti Al-Walid II yang tidak peka terhadap masalah sosio-politik. Mari kita berharap dan berdoa agar pemimpin-pemimpin kita memiliki kebijaksanaan dan kepekaan terhadap kestabilan politik di negeri ini, sehingga keamanan dan kenyamanan bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat.

Muhamad Iqbal Akmaludin, Alumni UIN Jakarta & Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

Contact Me