Oleh Ujang Jamaludin
Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Itulah kenyataan yang sering kita dengar dalam kehidupan. Banyak orang begitu bahagia saat bertemu, hingga lupa bahwa kebersamaan itu sering kali hanya sementara. Ketika perpisahan tiba, kesedihan pun menyelimuti hati.
Kini, bulan Ramadhan hampir usai. Ia akan pergi dan baru kembali sebelas bulan ke depan. Kita menyambutnya dengan penuh suka cita, mempersiapkan diri untuk mengisi hari-harinya dengan ibadah dan amal kebaikan.
Selama sebulan penuh, pahala dari setiap kebaikan dilipatgandakan. Bahkan satu amal kebajikan di bulan Ramadhan bisa berlipat hingga seribu kali lipat pahalanya. Ketika Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, sementara pintu-pintu neraka ditutup. Di dalamnya, terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadar. Lalu, ketika Ramadhan pergi, tidakkah kita merasa sedih atas berlalunya limpahan keberkahan ini?
Bahkan pada malam terakhir Ramadhan, langit, bumi, dan para malaikat pun menangis atas kepergiannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
عن جابر عن النبي عليه الصلاة والسلام أنه قال: ” إذا كان آخر ليلة من رمضان بكت السموات والأرض والملائكة مصيبة لأمة محمد عليه الصلاة والسلام، قيل يا رسول الله أي مصيبة هي؟ قال عليه الصلاة والسلام: ذهاب رمضان، فإن الدعوات فيه مستجابة والصدقات مقبولة والحسنات مضاعفة والعذاب مدفوع.”
Artinya: Dari Jabir, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Apabila malam terakhir bulan Ramadhan, langit, bumi, dan para malaikat menangis sebagai musibah bagi umat Nabi Muhammad ﷺ.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, musibah apakah itu?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Perginya Ramadhan, karena doa-doa di dalamnya dikabulkan, sedekah diterima, pahala dilipatgandakan, dan azab ditahan.” ( Durratun Nasihin, hlm. 11 | Pustaka Islamiyah )
Maka, sudah sepantasnya kita sebagai umat Nabi Muhammad ﷺ merasakan kehilangan yang mendalam atas kepergian Ramadhan. Bagaimana mungkin kita tidak bersedih jika bulan penuh rahmat dan ampunan ini telah berlalu meninggalkan kita?
Sebagaimana disebutkan dalam Durratun Nasihin:
فأي مصيبة أعظم من ذهاب رمضان؟ فإذا بكت السموات والأرض لأجلنا فنحن أحق بالبكاء والتأسف لما تنقطع عنا من هذه الفضائل والكرامات.
Artinya: Musibah apa yang lebih besar daripada perginya bulan Ramadhan? Jika langit dan bumi menangis karena kepergiannya, maka kita lebih berhak untuk menangis dan menyesal atas terputusnya keutamaan serta kemuliaan yang ada di dalamnya. ( Durratun Nasihin, hal. 11 | Pustaka islamiyah )
Tentang Kitab Durratun Nasihin
Untuk diketahui, pengarang kitab Durratun Nasihin adalah Syaikh Utsman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir al-Khaubawiyyi. Sebagian kalangan menyebutnya Al-Khubawi atau Al-Khubuwi, yang wafat pada tahun 1824 M. Nama lengkap kitab ini adalah Durratun Nasihin fi al-Wa’zhi wa al-Irsyad, yang ditulis sekitar abad ke-13 Hijriah.
Semoga dengan berlalunya Ramadhan, kita tetap istiqamah dalam menjalankan amal kebaikan di bulan-bulan selanjutnya. Aamiin.
Penulis adalah Santri Ponpes Nurul Huda Cikandri.