4 Agustus Hari Wafatnya KH As’ad Syasmul Arifin, Tokoh Penting dalam Sejarah NU

Pengasuh pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Asembagus,  Situbondo KH As’ad Syamsul Arifin merupakan seorang ulama besar dan tokoh penting dalam sejarah Nahdlatul Ulama (NU), yang memerankan sebuah organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia.

Biografi KH. As’ad Syamsul Arifin

Melansir website resmi NU Online, Kiai As’ad lahir pada 1897 di Makkah tepatnya di kampung Syi’ib Ali, yang berdekatan dengan Masjidil Haram ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu keislaman.

Kerap biasa warga memanggil Kiai As’ad, berasal dari kedua orang tuanya. Sang ayah yaitu Raden Ibrahim (KH Syamsul Arifin) merupakan keturunan dari Sunan Kudus I, dan sang ibu Nyai Siti Maimunah yang masih mempunyai keturunan dari Sunan Ampel.

KH. As’ad Syamsul Arifin dikenal sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. NU didirikan sebagai respons terhadap tantangan zaman, termasuk pengaruh pemikiran modern yang dianggap mengancam nilai-nilai tradisional Islam. KH. As’ad bersama dengan para ulama lain, seperti KH. Hasyim Asy’ari, memiliki visi untuk menjaga dan melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah serta memajukan kesejahteraan umat melalui pendidikan dan sosial.

Sebagai seorang ulama dan pemimpin, KH. As’ad berperan aktif dalam mengembangkan NU, memperjuangkan hak-hak umat Islam, serta memberikan bimbingan kepada generasi penerus. Ia dikenal dengan kepiawaiannya dalam mengajarkan ilmu agama dan memberikan khotbah-khotbah yang mendalam, yang banyak mempengaruhi para pengikutnya.

Pendidikan dan sanad keilmuan

Awalnya, As’ad dan keluarganya tinggal di pondok pesantren keluarganya di Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah 4-5 tahun, mereka pindah ke Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur yang saat itu masih berupa hutan belantara.

Pengembaraan awalnya dalam menuntut ilmu, KH Syamsul Arifin mengirim As’ad ke Pondok Pesantren Banyuanyar yang didirikan KH Itsbat Hasan pada tahun 1785 M. Ketika As’ad masuk, Pesantren Banyuanyar diasuh oleh KH Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Di Pesantren Banyuanyar, As’ad nyantri selama tiga tahun (1910-1913).

Setelah dari tiga tahun nyantri di Pesantren Banyuanyar, As’ad kemudian dikirim ayahnya ke Madrasah Shaulatiyah. Perguruan yang cukup terkemuka di Makkah. Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad bertemu dengan beberapa santri dari Indonesia seperti Zaini Mun’im, Ahmad Thoha, Muhammadun, dan Baidlowi Lasem.

Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad berguru kepada Sayyid Abbas al-Maliki (ayah dari Sayyid Alwi al-Maliki), Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Muhammad Amin al-Quthbi, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif Syanqithi. Setelah beberapa tahun di Madrasah Shaulatiyah, As’ad kembali ke Indonesia dan berguru kepada KH Nawawi (Pesantren Sidogiri), KH Khazin (Pesantren Panji Siwalan), KH Cholil Bangkalan (Pesantren Kademangan), dan KH Hasyim Asy’ari (Pesantren Tebuireng).

Perjuangan dan Kiprah Nahdlatul Ulama (NU)

Sejak tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, KHR As’ad Syamsul Arifin dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura “membabat alas” (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah, dua tokoh yang juga guru Kiai As’ad Syamsul Arifin.

Usaha As’ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushola, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja. Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.

Sepeninggal sang ayah KH Syamsul Arifin pada tahun 1951, kepengasuhan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah diberikan kepada Kiai As’ad. Di bawah asuhannya, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 1968 berdirilah sebuah Universitas Syafi’iyah dengan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah (saat ini Universitas Ibrahimy) juga sejumlah layanan pendidikan formal di berbagai jenjang.

Estafet kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putera-puteri KH As’ad Syamsul Arifin, yaitu Zainiyah, Nur Syarifah, Nafi’ah, Mukarromah, Makkiyah As’ad, Isyaiyah As’ad, Raden Fawaid As’ad, dan Raden Kholil As’ad. Saat ini, KH Achmad Azaim Ibrahimy (cucu KH As’ad Syamsul Arifin) menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah.

Warisan dan Penghargaan

KH. As’ad Syamsul Arifin meninggal dunia pada 27 Maret 1990. Meskipun beliau telah berpulang, warisannya terus hidup melalui Nahdlatul Ulama dan berbagai lembaga yang didirikannya. NU tetap menjadi kekuatan penting dalam masyarakat Islam Indonesia, berkomitmen untuk menjaga ajaran-ajaran Islam yang moderat dan tradisional.

Selain kesaktian dan karomah-karomah yang dimilikinya, KH As’ad Syamsul Arifin juga menulis sejumlah kitab dan buku di bidang akidah, tauhid, fikih, muamalah, sejarah, sastra, dan amaliah sehari-hari. Berikut buku dan kitab karya KH As’ad Syamsul Arifin:

1.    Tsalats Risail, kitab setebal 21 halaman ini ditulis dengan huruf arab dan berbahasa Indonesia. Materi kitab ini berasal dari kitab Mafahim Yajib an Tushahhah karangan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dan beberapa kitab dan ulama yang lain.

2.    Risalah Shalat Jumat, kitab setebal 19 halaman ini ditulis dalam bahasa Arab. Pada permulaan, kitab yang membahas sholat Jumat ini berisi kutipan-kutipan ulama dari sebelas kitab, di antaranya al-Umm, Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah, dan Nihayah al-Muhtaj) tanpa di terjemahkan. Kiai As’ad kemudian memaparkan (dengan bahasa Madura) sejarah sholat Jumat di satu masjid.

3.    At-Tajlib al-Barokah fi Fadli as-Sa’yi wa al-Harokah, kitab setebal 31 halaman ini membahas tentang muamalah dalam Islam. KH As’ad Syamsul Arifin menulis kitab ini pada momen malam pemilihan umum pertama dalam sejarah Indonesia yaitu pada 15 Desember 1955.

4.    Risalah at-Tauhid, kitab setebal 42 halaman ini ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Madura. Kitab ini membahas tentang ilmu tauhid namun lebih banyak mengupas masalah tasawuf. Misalnya, membahas tingkatan iman, macam-macam fana fillah, tujuan masuk tarekat, guru tarekat, dan waliyullah.

5.    Tarikh Perjuangan Islam Indonesia, buku setebal 43 halaman ini ditulis menggunakan huruf Arab berbahasa Indonesia. Buku membahas tentang sejarah Wali Songo dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa dan Madura. Dalam buku ini menurut Kiai As’ad Syamsul Arifin setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat mengadakan musyawarah untuk menyebarkan Islam ke berbagai negara.

6.    Isra’ Mi’raj, buku setebal 21 halaman ini ditulis dengan huruf Arab berbahasa Madura. Buku yang ditulis pada 27 Syawal 1391 H atau 17 Desember 1971 ini membahas tentang perjalanan isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw.

7.    Syair Madura, syair ini ditulis sebanyak 232 baris oleh KH As’ad Syamsul Arifin dengan huruf Arab dan berbahasa Madura. Syair ini ditulis pada bulan Ramadhan, tahunnya tidak ditemukan. Buku ini memberikan informasi bahwa Kiai As’ad Syamsul Arifin juga seorang penyair dan memiliki cita rasa seni.

Contact Me